Kisah Pembunuhan Keluarga Pribumi di Negeri Belanda, Pelaku Pembantunya Sendiri
Pelaku mengaku tega membunuh majikannya karena tidak diajari Bahasa Belanda.
Pelaku mengaku tega membunuh majikannya karena tidak diajari Bahasa Belanda.
Kisah Pembunuhan Keluarga Pribumi di Negeri Belanda, Pelaku Pembantunya Sendiri
Mas Soeparwi lahir di Pati, Hindia Belanda, pada tahun 1892 dari keluarga terpandang. Ayahnya, Kusnorejo, adalah pembantu bupati Tegawanu, Demak. Sebagia anak pejabat, Soeparwi punya kesempatan untuk mengikuti pendidikan dasar berstandar Belanda di ELS.
-
Apa yang dilakukan Belanda untuk menumpas keluarga Suropati? Mengutip Instagram @jurulamadjang, kolonial Belanda menggunakan gagasan Tumpes Kelor, yakni menumpas seluruhnya sampai ke akar-akar. Pihak kolonial bermaksud menghukum mati seluruh anggota keluarga Suropati.
-
Siapa yang terbunuh dan menyebabkan dendam Belanda? Terbunuhnya Kapten François Tack, seorang perwira VOC di Kartasura oleh Untung Suropati membuat kolonial Belanda meradang.
-
Mengapa Belanda dendam pada keluarga Suropati? Terbunuhnya Kapten François Tack, seorang perwira VOC di Kartasura oleh Untung Suropati membuat kolonial Belanda meradang. Pihak kolonial pun menaruh dendam kesumat pada Suropati dan keturunannya.
-
Siapa yang dibunuh secara sadis? Hasil analisis menunjukkan, kedua mumi laki-laki ini mengalami kematian di tempat akibat tindakan kekerasan yang disengaja.
-
Bagaimana Belanda membunuh warga Rawagede? Serdadu Belanda Mendobrak Rumah Warga dan Mengumpulkan Setiap Laki-Laki yang Ditemui Sai, salah seorang saksi mata menuturkan Belanda membiarkan wanita dan anak anak begitu saja.Namun setiap laki-laki yang sudah dianggap remaja atau dewasa ditangkap. Mereka dijejerkan dalam satu barisan.Mereka diinterograsi lokasi persembunyian para pejuang RI. Tanpa Ampun Kemudian Tentara Belanda Menembaki Mereka Dengan Senapan Mesin Bau darah dan mesiu memenuhi kampung itu. Jerit tangis ibu dan istri terdengar di mana-mana.
-
Di mana pembunuhan keluarga itu terjadi? Arkeolog menemukan situs pemakaman massal ini di Desa Koszyce, Polandia. Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada sampel DNA kerangka tersebut mengungkap sebuah keluarga besar tewas secara brutal di lokasi ini.
Tamat dari ELS, Soeparwi kecil melanjutkan studi di OSVIA Magelang. Sekolah itu dikhususkan bagi para pribumi yang nantinya akan bekerja sebagai Pamong Praja Pemerintah Hindia Belanda. Biasanya murid yang diterima di sana berusia 12-16 tahun.
Selulus OSVIA, ia melanjutkan studi di NIVS, atau sekolah dokter ternak bagi pribumi yang berlokasi di Bogor. Di kampus itu kecerdasannya menonjol, hal ini membuat ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi dokter hewan di negeri Belanda.
Lalu bagaimana kisah Soeparwi selanjutnya? Berikut kisahnya seperti dirangkum dalam kanal YouTube Umbra Skull pada 2 Juni 2024.
Saat itu ia sudah menikah dengan seorang wanita bernama Raden Roro Sumirah. Mereka punya dua anak yang masih kecil yaitu Soebagja dan Soebroto.
Pada tahun 1928 dengan menumpang kapal laut, mereka berangkat ke negeri Belanda beserta seorang pembantu laki-laki bernama Sono.
Sono merasa beruntung bisa melanglang buana hingga negeri Belanda. Di sana keluarga kecil itu tinggal di Kota Utrecht, di mana Soeparwi berkuliah di Universitas Utrecht.
Setahun kemudian mereka pindah ke pinggiran kota yaitu di Bilthoven. Di sana mereka menempati sebuah rumah dua lantai yang cukup besar. Kehidupan mereka di sana berjalan dengan baik.
Meski berasal dari kampung di Jawa, Sono ternyata merupakan pembantu yang luwes dan mudah beradaptasi. Dalam waktu singkat dia sudah punya seorang teman dari warga Belanda yang berada di lingkungan tempat tinggalnya.
Tidak terasa tiga tahun sudah mereka tinggal di Belanda. Pada 30 Januari 1931, Soeparwi berangkat dari rumah ke kampus di Utrecht untuk mengambil hasil ujian akhir. Nilai-nilainya sangat memuaskan. Soeparwi pun pulang ke rumah dengan hati riang gembira.
Pukul 3 sore ia tiba di rumah. Namun aneh, pintu tidak mau terbuka. Soeparwi lantas mengetuk pintu dan memanggil nama istrinya, anaknya, hingga pembantunya. Namun tak ada jawaban.
Dari dalam rumah, ia mencium bau gas. Kadung panik, Soeparwi langsung meminta para tetangga membantunya untuk mendobrak pintu dapur. Dan betapa kagetnya ia ketika melihat Sono terkapar tak sadarkan diri dengan selang gas berada di mulutnya.
Soeparwi kemudian bergegas menuju kamar tidur di lantai atas. Saat didobrak, alangkah kagetnya ia saat menyaksikan pemandangan yang begitu mengerikan.
Istrinya Sumirah dan kedua anaknya yang masih balita, tewas bersimbah darah dengan luka parah di leher. Melihat hal itu Soeparwi nyaris pingsan dan langsung diamankan ke rumah tetangga.
Sono berhasil diselamatkan dan menjalani perawatan di rumah sakit. Saat ditanya polisi, Sono mengaku dialah yang membunuh Soeminah dan kedua anaknya sebelum akhirnya melakukan usaha percobaan bunuh diri dengan menghirup gas.
Pengakuan Sono membuat banyak pihak terkejut, termasuk Soeparwi. Ia merasa selama ini hubungan keluarganya dengan Sono baik-baik saja.
Pada 4 Februari 1931 Soeminah (25 tahun), serta kedua anaknya, Soebagja (4 tahun) dan Subroto (3 tahun) dimakamkan di tengah turunnya hujan salju yang lebat. Soeparwi yang terpukul berusaha tabah.
Saat itu ia menyampaikan keinginannya pada pemerintah Belanda untuk mengizinkan membawa jasad keluarganya pulang ke tanah Jawa.
Setelah prosesi pemakaman itu, proses hukum terus berjalan. Sono, sebagai terdakwa, mengatakan saat tiba di Belanda, majikannya Soeminah berjanji akan mengajarinya bahasa Belanda. Bagi Sono penting untuk bisa berbahasa Belanda agar nanti bisa mencari pekerjaan di sana.
Janji tersebut sebenarnya ditepati Soeminah. Ia sering mengajak Sono bercakap-cakap dengan bahasa Belanda. Namun pada hari kejadian, saat Sono mengajak Soeminah bercakap-cakap dengan bahasa Belanda, majikannya menolak dan menjawab dengan bahasa Jawa.
Hal ini membuat Sono marah. Amarah itu berusaha ia redam. Namun ternyata amarah itu terus memuncak dan muncul niatan untuk membunuh Soeminah. Sono kemudian mengambil pisau dan menuju kamar tidur di lantai atas.
Di sanalah Sono menikam majikannya berkali-kali terutama di leher. Sempat terjadi perlawanan yang cukup sengit hingga seluruh ruangan dipenuhi ceceran darah, dari lantai hingga dinding. Saat itulah, ketika dua anak Soeminah masuk kamar, Sono yang sudah gelap mata ikut menikam kedua balita malang hingga tewas.
Saat itu, sebenarnya Sono tengah diliputi kegelisahan. Ia mendengar kabar bahwa Gunung Merapi di kampung halamannya meletus. Ia langsung teringat keluarganya.
Dampaknya ke pekerjaannya yang tidak beres. Hal ini membuat Nyonya Soeminah marah. Sono jengkel, namun memendam perasaannya. Setelah melewati proses persidangan yang alot, Sono dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.
Kurang lebih setahun setelah tragedi tersebut, Soeparwi yang telah merampungkan studinya pulang ke Hindia Belanda dengan membawa kerangka istri dan kedua anaknya.
Setelah peristiwa tragis itu, Soeparwi tak lantas terus berlarut-larut dalam kesedihan. Kelak ia dikenal sebagai pionir Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Ia menjadi ketua Fakultas Kedokteran Hewan UGM yang pertama. Pada tahun 1950, ia mendapat gelar Guru Besar UGM. Pada tahun 1973, Ia meninggal di Yogyakarta pada usia 81 tahun.
Untuk mengenang jasanya, Fakultas Kedokteran Hewan UGM mengabadikan nama Prof. Soeparwi sebagai nama rumah sakit hewan di sana.
Lalu bagaimana nasib Sono? Tak ada kabar pasti mengenai pemuda itu. Kemungkinan ia sudah bebas sekitar tahun 1942. Namun setelah itu tak ada yang tahu pasti apakah ia pulang ke tanah air atau tetap tinggal di negeri Belanda.