Mengenal Morono, Tradisi Menangkap Ikan pada Malam Hari di Danau Poso
Proses Morono memerlukan kesabaran ekstra. Para nelayan harus menunggu ikan-ikan kecil berkumpul di sekitar cahaya lampu selama 2-3 jam.
Proses Morono memerlukan kesabaran ekstra. Para nelayan harus menunggu ikan-ikan kecil berkumpul di sekitar cahaya lampu selama 2-3 jam.
Foto: YouTube BRIN Indonesia
Mengenal Morono, Tradisi Menangkap Ikan pada Malam Hari di Danau Poso
Danau Poso terbentuk dengan sejarah geologi yang panjang. Keberadaan Danau Poso juga membentuk kebudayaan masyarakat yang beragam. Salah satu bentuk budaya itu adalah Morono. Morono adalah sebuah tradisi menangkap ikan kecil dengan bantuan lampu. Tradisi ini digerakkan oleh masyarakat di sekitar Danau Poso.
“Dulu kami pakai lampu petromak. Sekarang kami sudah pakai lampu aki,” kata Neldin, salah seorang nelayan Danau Poso.
-
Bagaimana cara warga menangkap ikan? Mereka hanya diperkenankan menangkap ikan menggunakan tangan dan jaring.
-
Apa itu Tradisi Popokan? Tradisi Popokan ialah tradisi tasyakuran desa yang dilakukan oleh warga Desa Sendang atas keselamatan yang diberikan kepada Tuhan.
-
Kenapa tradisi memanggil ikan di Pantai Bakaro bertahan? Beberapa warga pun mengikuti dan merawat tradisi memanggil ikan, hingga menjadi ciri khas di Pantai Bakaro yang berpasir putih.
-
Kapan tradisi memanggil ikan di Pantai Bakaro dimulai? Tidak ada yang tahu pasti kapan tradisi ini dimulai, namun mengutip laman Indonesia Kaya kegiatan tersebut dipelopori oleh warga setempat bernama Lukas.
-
Dimana Tradisi Popokan dilakukan? Tradisi ini masih berlangsung di dekat Balai Desa Sendang yang berada di area persawahan.
-
Kenapa Tradisi Popokan dilakukan? Tradisi Popokan ialah tradisi tasyakuran desa untuk menghormati para leluhur usai berhasil mengusir harimau dari desa dan menyelamatkan warga.
Dalam tradisi itu, nelayan akan mendayung perahu menuju sebuah gabus yang terletak 30 meter dari tepi danau. Setelah itu nelayan akan menyalakan aki yang disimpan pada sebuah gabus yang mengapung.
Dikutip dari kanal YouTube BRIN Indonesia, proses Morono memerlukan kesabaran ekstra. Para nelayan harus menunggu ikan-ikan kecil berkumpul di sekitar cahaya lampu pada gabus selama 2-3 jam.
“Setelah memasang lampu di gabus itu, kami langsung tinggal kembali ke rumah. Setelah itu saya ambil lagi jam 1 pagi,” kata Neldin.
Setelah ikan terkumpul banyak di sekitaran gabus, nelayan akan mematikan lampu yang berada di gabus dan menyalakan lampu yang ada di perahu. Kumpulan ikan akan mengelilingi perahu.
Nelayan kemudian bergerak perlahan ke sebuah jaring yang sudah dipasang di tepi danau. Saking pelannya dibutuhkan waktu sekitar 1 jam hanya untuk menempuh jarak 30 meter.
Para nelayan harus berhati-hati karena ikan itu sangat sensitif kalau melihat cahaya lain. selain itu, mereka juga harus mempertimbangkan ombak dan angin. Kesalahan perhitungan sedikit saja bisa membuat ikan berhamburan.
“Ikan kecil ini mengikuti perahu pelan-pelan. Setelah sampai di tempat tujuan, baru ikan kecil ini dimasukkan ke jaring kemudian ujungnya ditarik. Pas bulan purnama kita istirahat. Karena bulan purnama itu terang sekali. Kalau bulan terang sekali, ikan-ikan ini nggak mau digiring,” jelas Neldin.
Saat mendekati jaring, cahaya lampu perlahan-lahan akan dikurangi hingga terus meredup. Pada kedalaman sekitar 3 meter, nelayan Morono akan turun dari perahu untuk mencapai ujung jaring. Mereka akan membentuk lingkaran untuk mengurung ikan kecil hingga masuk ke dalam jaring.
Setelah berhasil menangkap ikan ke dalam jaring, para nelayan akan memindahkan ikan ke dalam wadah yang sudah disiapkan.
Jenis ikan kecil yang ditangkap oleh nelayan adalah ikan rono. Ikan ini termasuk kategori ikan yang tertarik pada cahaya. Cahaya berperan dalam menarik plankton dan ikan kecil menyebabkan mereka berkumpul dan mendekat untuk mencari makan.
Ikan rono memiliki ukuran sekitar 3-7 cm. Ikan ini jumlahnya cukup melimpah di Danau Poso. Mereka hidup di perairan terbuka dengan kedalaman 5-7 cm. ikan ini merupakan hewan endemic di Danau Poso.
“Ikan ini dijemur 2 hari sampai kering. Setelah kering, kemudian dijual dengan harga Rp50.000 per kilogram,” kata Neldin.