Mengenal Ngabekten, Tradisi Sungkeman Kraton Jogja di Hari Lebaran
Merdeka.com - Lebaran adalah momen indah bertemu keluarga, sanak saudara, dan teman lama di kampung halaman. Namun saat musim pandemi seperti ini lebaran menjadi sesuatu yang dilarang karena bisa menjadi penyebab penularan Virus Corona. Di Indonesia sendiri terdapat banyak sekali tradisi lebaran. Salah satunya adalah tradisi Ngabekten, tradisi sungkeman ala Kraton Jogja di hari lebaran.
Dilansir Kemendikbud.go.id, pada saat lebaran, Kraton Jogja menggelar tradisi Ngabekten selama dua hari. Tradisi ini merupakan wujud penghormatan kepada orang yang lebih tua. Seiring waktu, tradisi ini mengalami perubahan-perubahan dalam hal waktu pelaksanaan, pakaian, dan teknis pelaksanaan.
Sebagai Wujud Rasa Hormat Kepada yang Lebih Tua
-
Kapan tradisi ini dilakukan? Tradisi ini diketahui sudah berkembang sejak tahun 1950-an, dan jadi salah satu hajat desa yang selalu ramai didatangi oleh warga.
-
Bagaimana tradisi angpao lebaran di Indonesia? Tradisi Lebaran ini terpengaruh dari budaya Arab dan Tionghoa.
-
Apa tradisi unik Bengkulu sambut Lebaran? Masyarakat muslim di Bengkulu punya tradisi unik yang bernama bakar gunung api.
-
Bagaimana tradisi ngarot dirayakan? Acara ini merupakan pesta adat setempat, yang rutin dilakukan setelah masa panen padi dan palawija. Sebelumnya Ngarot diadakan selama 2 hari pada 23-24 Desember 2023 lalu, dengan menampilkan sejumlah acara mulai dari menyembelih kerbau, mengadakan kesenian lokal hingga memamerkan hasil panen palawija.
-
Bagaimana tradisi Gedhogan dirayakan? Tradisi di salah satu desa wisata Banyuwangi ini turun-temurun dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas panen yang diterima. Di musim panen, para perempuan di sini menampilkan sebuah pertunjukan seni unik dengan memukulkan lesung dan alu diiringi alunan angklung dan tabuhan gendang yang merdu.
-
Kenapa tradisi angpao lebaran di Indonesia masih bertahan? 'Salam tempel' masih jadi bagian tradisi lebaran di tanah air, bahkan salah satu yang paling dinantikan.
©Kratonjogja.id
Dilansir dari Jogjaprov.go.id, maksud dari diselenggarakannya tradisi Ngabekten adalah sebagai ungkapan rasa hormat dan terima kasih kepada Sri Sultan sebagai junjungan mereka.
Selain itu, tradisi ngabekten di Kraton juga dimaksudkan untuk meminta maaf kepada junjungannya atas segala kesalahan baik yang sifatnya sengaja maupun tak disengaja.
Tradisi ini juga dimaksudkan untuk memohon doa restu orang tua agar tidak mendapat halangan dalam menjalani kehidupan selanjutnya.
Perbedaan Ngabekten Dulu dan Sekarang
©2020 liputan6.com
Tradisi Ngabekten memiliki perbedaan antara zaman dulu dan sekarang. Pada awal mulanya, tradisi ini diselenggarakan satu minggu berturut-turut kemudian menjadi tiga hari berturut-turut sampai pada akhirnya hanya diselenggarakan dua hari berturut-turut yaitu pada tanggal 1 dan 2 Syawal.
Pelaksanaan Ngabekten
©Kratonjogja.id
Dalam pelaksanaannya, Ngabekten dibagi menjadi dua hari. Hari pertama dikhususkan bagi yang laki-laki. Dari seluruh kaum lelaki yang mengikuti Ngabekten itu, dibagilah ke dalam beberapa kelompok. Kelompok-kelompok itu di antaranya para pangeran atau menantu Sultan, para abdi dalem, dan para cucu Sultan.
Sementara itu hari kedua dikhususkan bagi kaum perempuan yang juga dibagi ke dalam beberapa kelompok. Kelompok itu di antaranya permaisuri, anak perempuan Sultan, para cucu sultan yang perempuan, dan para abdi dalem perempuan.
Tempat Pelaksanaan Ngabekten
©Kratonjogja.id
Acara Ngabekten biasanya diadakan di Bangsal Kencana Kraton dan ada pula prosesi yang diselenggarakan di Bangsal Proboyeksa. Kurang lebih satu bulan sebelum waktu pelaksanaan, Kraton Jogja biasanya mengeluarkan buku yang berisi peraturan Ngabekten pada Bulan Syawal.
Buku tersebut setiap tahunnya diterbitkan dan disebarluaskan sebagai buku panduan pelaksanaan Ngabekten. Di dalam buku itu, urutan duduk juga sudah diatur sedemikian rupa. Urutan duduk itu diatur mulai dari kerabat yang paling dekat dengan Sultan.
Busana yang Digunakan Selama Ngabekten
©Kratonjogja.id
Ketika pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VIII, semua peserta harus memakai pakaian kebesaran, misalnya untuk lelaki memakai kain kampuh, bercelana panjang putih, berkuluk biru, tidak berbaju dan tidak pula bersandal. Sedangkan untuk wanita hanya mengenakan kampuh, tidak berbaju dan tidak pula bersandal.
Namun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, pakaian kebesaran itu tak lagi digunakan. Peserta hanya mengenakan pakaian biasa tetapi harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku, misalnya boleh mengenakan kebaya warna-warni tapi tidak boleh mengenakan kuthubaru. Selain itu boleh juga mengenakan pranakan, atela, dan yang lain-lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Larangan Selama Ngabekten
©Kratonjogja.id
Dalam tradisi tersebut, terdapat larangan-larangan yang harus dipatuhi, di antaranya pakaian yang dikenakan tak boleh menyimpang, peserta yang datang terlambat tak boleh menyusul. Mundur-majunya peserta yang akan ngabekti harus menunggu perintah Sultan, tidak boleh menunjuk dan berkata keras, tidak boleh membawa senjata tajam, dan harus urut satu per satu dan rapi sesuai urutan dalam peraturan. (mdk/shr)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Upacara yang digelar tiap bulan Sapar itu digelar untuk menjaga nilai-nilai budaya yang diwariskan turun-temurun.
Baca SelengkapnyaPada hari raya Lebaran, mereka tidak melaksanakan salat Idulfitri. Pelaksanaan salat mereka ganti dengan membersihkan makam leluhur.
Baca SelengkapnyaKumpulan kata-kata yang bisa diucapkan saat sungkeman dalam bahasa Jawa.
Baca SelengkapnyaBanyak makna filosofis yang terkandung dalam tradisi ini
Baca SelengkapnyaMengawali acara besar Grebeg Mulud, Keraton Yogyakarta melakukan tradisi menyebar udhik-udhik. Animo masyarakat untuk mengikuti prosesi ini cukup besar.
Baca SelengkapnyaPemprov Jawa Barat mengumumkan bahwa Ngunjung khas Kabupaten Indramayu ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).
Baca SelengkapnyaKata-kata sungkeman Lebaran bahasa Jawa bisa diucapkan saat halal-bihalal kepada keluarga dan orang-orang terdekat.
Baca SelengkapnyaAcara Grebeg Maulud digelar setiap tahun. Setiap perayaan itu menyimpan momen sejarahnya masing-masing.
Baca SelengkapnyaTradisi Suran Mbah Demang dilaksanakan setiap tanggal 7 Sura penanggalan Jawa
Baca SelengkapnyaPameran itu digelar dalam rangka Tingalan Jumenengan Dalem Sri Sultan HB X
Baca SelengkapnyaWarga sekitar berebut air cucian dari gamelan tersebut.
Baca SelengkapnyaTradisi syawalan di Pulau Jawa telah berlangsung lintas generasi.
Baca Selengkapnya