Menimbang Untung Rugi Pungutan Rp150 Ribu untuk Turis di Pulau Dewata
Retribusi tambahan bagi turis asing tidak masalah selama dikelola terbuka dan untuk pemeliharaan pariwisata di Bali.
Seharusnya Pemprov Bali dan Pemerintah Pusat bisa berembuk atau nego soal restribusi itu.
Menimbang Untung Rugi Pungutan Rp150 Ribu untuk Turis di Pulau Dewata
Ketua Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) Prof Azril Azahari, menilai rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali memungut biaya US$10 atau setara Rp150 ribu kepada turis asing yang masuk Pulau Dewata, tidak bijak dan etis.
Azril menyarahkan agar Pemprov Bali dalam melakukan retribusi atau pungutan ke turis asing bisa satu pintu yaitu lewat pemerintah pusat.
"Itu lucu saja, itu kan retribusi atau pungutan dari pemerintah daerah bukan oleh pemerintah pusat. Hanya aneh saja. Kenapa, tidak dikaitkan dengan paket, waktu dia (turis) datang," kata Azril saat dihubungi Sabtu (15/6).
Menurutnya, bila retribusi itu satu pintu mempermudah turis asing, sehingga tidak perlu membayarkan lagi saat berwisata ke Indonesia atau ke Bali.
"Tapi kalau terpisah begitu, per orang menurut saya kayak tiket masuk saja. Menurut saya kurang logis saja sih membuat itu," imbuhnya.
Dia juga menyebutkan, mencari uang dari turis asing dengan jumlah tidak terlalu besar bakal berdampak terhadap pariwisata Bali. Dia menilai orang masuk ke Bali diminta retribusi tambahan tidak logis. "Jadi, logika saya kurang begitu tepat dengan itu dan jumlahnya juga tidak besar. Kenapa, tidak sekalian kalau (turis) masuk itu membuat visa sudah termasuk di sana. Pemerintah kan sudah mencas (tambahan biaya) waktu visa itu, harus membayar," ujarnya. "Walupun jumlahnya tidak terlalu besar tapi dampaknya menurut saya kurang etis dan juga agak sedikit bisa merusak nama kita jadinya. Jadi seolah-olah mau masuk ke Bali, kita harus bayar tiket seolah-olah begitu," jelasnya.Ia juga menilai, turis masuk ke suatu destinasi harus bayar kurang tepat juga. Seharusnya, restribusi itu bisa diambil waktu turis membeli souvernir dan bisa dikenai cas dan lewat itu restribusi bisa diambil oleh pemerintah dan itu konsep yang bagus. "Setiap destinasi, orang waktu membeli sovenir dikenai cas juga di souvernir, itu bagus. Atau dia membeli apa, segala macam dia dicas untuk di sananya itu diarahkan kepada pemerintah, itu tidak apa-apa untuk restribusi," ujarnya. "Jadi pajak untuk orang masuk kan dia bayar. Kecuali, yang kemarin itu ada bebas visa kan dia (turis) tidak bayar itu salah pemerintah juga. Bebas visa itu juga tidak benar. Jadi saya bilang pemerintah di Bali ini aneh-aneh saja membuat sesuatu yang tidak tepat, begitu," ujarnya.
Pemerintah Bali mengklaim bahwa ada negara yang melakukan hal sama soal pungutan tapi dengan bentuk yang berbeda. Menurutnya, kalau rencana pungutan yang dilakukan oleh Pemprov Bali itu terang-terangan.
"(Kalau negara lain) metode yang berbeda, itu kan terang-terangan dengan Rp 150 ribu rupiah. Padahal, kenapa tidak dibebankan saja ke pemerintah pusat nanti sekian persen masuk ke daerah, kan bisa, itu maksud saya. Jadi, jangan langsung masuk daerah, memungut biaya sudah ada untuk bikin visa, dia bayar, nanti masuk ke Bali bayar lagi, masuk ke Jakarta bayar lagi. Kan lucu jadinya," ungkapnya.
Menurutnya, tidak masuk akal retribusi itu karena turis asing masuk ke Indonesia harus bayar dengan visa dan masuk ke Bali harus bayar lagi dengan restribusi. Dan itu menjadi aneh. "Jadi, yang tidak masuk akalnya masuk ke Indonesia mereka harus bayar sekian dolar, oke. Tapi kalau ke Bali bayar lagi sekian lagi, nanti kalau ke Jakarta bayar lagi, sekian, kan aneh," ujarnya. Azril juga menyarankan, seharusnya Pemprov Bali dan Pemerintah Pusat bisa berembuk atau nego soal restribusi itu. Sehingga bisa jadi satu pintu dan nanti lebih bijak soal restribusi. "Iya cas-nya saja nego dengan pemerintah pusat, berapa bagian nanti yang didapat daerah. Jadi satu pintu, jadi nanti kalau dia (turis) mau kemana nanti waktu ngecas-nya itu masuknya di Bali dan Bali dapat sekian persen, masuk ke uang kas negara tapi Bali juga dapat ke kas daerah. Jadi satu pintu semuanya, jangan kayak sekarang ini, kan jadi lucu," ujarnya.
Menurutnya, seharusnya soal restribusi itu dibuat paket all in one jadi dia begitu masuk ke Indonesia kena cas semuanya tidak terpisah-pisah. Karena, kalau bayar restribusi di lain tempat itu seperti nyicil. "Jadi masukan ke all in one jadi begitu dia masuk dia dicast semua sederhana, mungkin. (Wisatawan) masuk ke salah satu destinasi pariwisata. Bayar tiket masuk, nanti parkir bayar masuk lagi, nanti apa bayar lagi, nanti kalau ada permainan yang lain bayar lagi. Kenapa kalau masuk saja bayar satu paket atau all in one wisatanya kan lebih enak, mereka bayar sekaligus dari pada nyicil satu-satu. Satu pintu jadi aman," ujarnya. "Jadi metode itu yang lebih bijak dan enak. Orang lebih bisa menerima, biar mahal tapi tidak perlu bayar-bayar lagi. Kalau ini kan nyicil, masuk bayar lagi. Itu yang kurang etis-nya itu saja yang saya lihat," ujarnya.
Dia melihat alasan Pemprov Bali melakukan retribusi atau pungutan untuk dimanfaatkan untuk pemeliharaan kebudayaan dan pembangunan infrastruktur di kawasan wisata cukup kecil. Selain itu menurutnya, seolah-olah pemerintah tidak punya uang. Dia juga mengatakan bahwa sebenarnya turis asing itu tidak menjadi masalah membayar berapapun asalkan jelas. "Kalau saya sih sering ngobrol-ngobrol dengan para turis. Iya mereka itu, membayar tidak ada masalah asal jelas. Jadi apakah nanti masuk ke provinsi lain bayar lagi. Jadi maunya mereka itu jelasnya. Kalau bisa ada satu pintu kan lebih enak jadi mereka bayar sekali, walaupun jumlahnya besar tidak ada masalah bagi mereka. Bukan jumlah mereka (yang pertanyakan) tapi caranya, setiap kali datang mereka harus bayar lagi, bayar lagi. Itu yang aneh," ujar dia.Sementara dikonfirmasi berbeda, guru besar pariwisata Universitas Udayana (Unud), Prof I Putu Anom mengatakan bahwa pungutan Rp150 ribu tidak masalah asalkan pengelolaan dilakukan benar. Anom menerangkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari perolehan pajak hotel dan restoran (PHR) itu tidak masuk ke Pemprov Bali, melainkan masuk ke kabupaten dan kota di Bali. "Makanya uangnya PAD Badung gede sekarang, melebihi target lagi. Punya Nusa Dua dan Kuta. Obyek (wisata ) juga begitu, ada beberapa daya tarik pariwisata masuk ke (Pemerintah) kabupaten, provinsi hanya dapat pajak kendaraan yang itu-itu saja," kata dia.
Anom setuju dengan pungutan tambahan bagi wisatawan tersebut, yang penting mengelola retribusi itu dengan benar demi kepentingan pelestarian lingkungan alam dan budaya Bali. Dia menambahkan, untuk pungutan Rp150 ribu itu boleh diwajibkan tetapi harus ada persetujuan dari pemerintah pusat juga. "Diwajibkan tetapi tetap harus ada persetujuan dari pemerintah pusat. Ini Bali, destinasi wisata utama dan banyak wisatawan berkunjung kan ke Bali. Sekarang ini, apapun kebijakan gubernur itu kan harus ada acuannya ke pemerintah pusat. Karena, Bali kan ada Undang-undang provinsi, sudah pisah Undang-undangnya kalau dulu kan gabung, Bali, NTB dan NTT," ujar dia.
Menurut dia, dana itu memang sangat penting untuk pelestarian lingkungan alam dan kebudayaan Bali. Tetapi transparan dan akuntabel. Sementara, kerusakan alam di Bali karena dampak dari overcapacity serta lainnya. "Itu yang kita inginkan supaya lingkungan dan alam itu bisa ditata dengan baik," ujar dia. Selain itu, untuk pemasukan di Bali sebenarnya tidak tinggi dibandingkan daerah lain yang memiliki tambang batubara, sawit atau tambang minyak. "Jasa (pariwisata) seperti Bali ini kan uangnya lebih banyak masuk sewa kamar di hotel dan restoran. Itu kan ke swasta yang banyak (dapat ). (Kita) hanya pajak, walupun (turis) length of stay lama dan pengeluarannya tinggi jelas pengeluarannya (didapat) untuk perusahaan. Dia kan belanja, nginep di hotel dan makan. Pemda hanya dapat PHR saja, itu kabupaten dan kota, bukan provinsi," ujarnya.Sementara turis asing membayar Visa On Arrival (VoA) juga tidak masuk ke Bali tapi ke Pemerintah Pusat. Selain itu, kerusakan lingkungan di Pulau Bali harus cepat dicarikan alternatif.
"Kalau kebudayaan masyarakat kami kan itu bagian dari lifestyle hidup. Tidak lepas dari praktik agamanya kalau kebudayaan itu. Yang berat ini penataan kawasan dan lingkungan ini, kerusakan lingkungan harus ada jalan alternatif, berat ini," ujar dia. Kontributor Bali: Moh Khadafi