Pengakuan adik kelas tentang Dita, terpapar radikalisme hingga jadi bomber gereja
Merdeka.com - Dalam beberapa hari terakhir, rakyat Indonesia dikejutkan dengan peristiwa bom bunuh diri di tiga gereja dan di markas Polrestabes Surabaya. Pelakunya melibatkan keluarga yaitu ayah, ibu, dan anak.
Dita Oepriarto menancapkan ideologi radikal kepada istri yakni Puji Kuswati dan anaknya hingga berujung aksi bom bunuh diri di tiga gereja. Begitu juga Tri Murtiono yang mengajak istrinya Tri Ernawati dan anaknya saat melakukan aksi bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya.
Sesungguhnya, peran seorang ayah sangat besar untuk menangkal tumbuhnya bibit-bibit radikalisme. Berdasarkan penelitian akademisi di Universitas George Washington, Amerika Serikat, kebanyakan teroris adalah mereka yang kehilangan sosok ayah atau erat kaitannya dengan kerentanan individual.
-
Siapa yang terkena dampak terorisme di Indonesia? Di Indonesia, aksi terorisme telah menyebabkan banyak kerugian dan korban. Mereka menjadi korban terorisme mengalami disabilitas seumur hidupnya, bahkan tak sedikit juga yang harus meregang nyawa.
-
Siapa yang mengalaminya di Indonesia? Riskesdas 2018, menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional.
-
Bagaimana anak menjadi pelaku bullying? Anak-anak yang cenderung melakukan bullying sering kali merasa senang atau puas ketika berhasil membuat orang lain merasa tidak nyaman atau takut.
-
Apa yang terjadi pada ketua OSIS itu? Seorang ketua OSIS asal SMAN 1 Cawas, Klaten bernama Fajar Nugroho meninggal dunia setelah diceburkan oleh teman-temannya di kolam renang.
-
Kenapa anak itu trauma? Tak hanya luka bakar yang tak kunjung sembuh, kini korban mengalami trauma atas kejadian yang menimpanya “Aku kan biasanya buka jendela kalau pagi-pagi. Terus dia takut, 'jangan dibuka, aku takut kalau dibakar. Itu ada orangnya.' Jadi dia kayak trauma gitu“
-
Kenapa anak menjadi pelaku bullying? Mereka yang sering terlibat dalam perilaku ini mungkin memiliki masalah emosional atau sosial yang mendasari tindakan mereka.
Demikian disampaikan Ahmad Faiz Zainuddin dalam diskusi di Wahid Institute, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (15/5). Faiz adalah teman sekolah Dita Oepriarto dan belakangan tulisannya viral di media sosial.
Dia menerangkan, dalam penelitian Universitas Geoge Washington, ada ratusan pelaku teror yang diwawancarai secara ekslusif.
"Hampir semua kehilangan figur ayah. Peran ibu mengayomi dan peran bapak memberikan arah nilai dan memberi ideologi tepat pada anaknya. Anak-anak bisa rentan seperti itu. Peran ayah sangat penting. Kalau ayah enggak hadir, siap-siap saja anak Anda kehilangan arah," paparnya.
Menurut pengakuan Faiz, Dita Oepriarto juga mengalami hal sama. Kehilangan figur ayah. Akibatnya, dia mulai terpapar paham radikalisme sejak masih duduk di bangku sekolah sampai kemudian dia melakukan aksi teror dengan mengajak serta semua anggota keluarganya.
Faiz sulit tidur maupun makan sejak tulisannya viral dua hari terakhir. Pesan WhatsApp-nya penuh dari pihak yang mendukung maupun menghujat. Dia juga mengaku menerima banyak telepon dari wartawan media nasional maupun internasional.
"Saya menulis ini karena sangat personal buat saya. Awalnya saya berniat puasa media sosial. Begitu saya lihat fotonya itu Dita, saya kaget setengah mati karena itu kakak kelas saya. Kami pernah duduk di satu pengajian," ceritanya.
Berikut tulisan Faiz di laman facebooknya:
Dari Islam Muram dan Seram, Menuju Islam Cinta nan Ramah
Dita Supriyanto adalah Kakak kelas saya di SMA 5 Surabaya Lulusan '91
Dia bersama-sama istri dan 4 orang anaknya berbagi tugas meledakkan diri di 3 gereja di surabaya. Keluarga yg nampak baik2 dan normal seperti keluarga muslim yg lain, seperti juga keluarga saya dan anda ini ternyata dibenaknya telah tertanam paham radikal ekstrim.
Dan akhirnya kekhawatiran saya sejak 25 tahun lalu benar2 terjadi saat ini.
Saat saya SMA dulu, saya suka belajar dari satu pengajian ke pengajian, mencoba menyelami pemikiran dan suasana batin dari satu kelompok aktivis islam ke kelompok aktivis islam yg lain. Beberapa menentramkan saya, seperti pengajian "Cinta dan Tauhid" Alhikam, beberapa menggerakkan rasa kepedulian sosial seperti pengajian Padhang Mbulan Cak Nun. Yg lain menambah wawasan saya tentang warna warni pola pemahaman Islam dan pergerakannya.
Diantaranya ada juga pengajian yg isinya menyemai benih2 ekstrimisme radikalisme. Acara rihlah (rekreasinya) saja ada simulasi game perang2an. Acara renungan malamnya diisi indoktrinasi islam garis keras.
Pernah di satu pengajian saat saya kuliah di UNAIR, saya harus ditutup matanya untuk menuju lokasi. Sesampai disana ternyata peserta pengajian di-brainwash tentang pentingnya menegakkan Negara Islam Indonesia. Dan unt menegakkan ini kita perlu dana besar. Dan untuk itu kalau perlu kita ambil uang (mencuri) dari orang tua kita unt disetor ke mereka.
Bahkan ketua Rohis saya di buku Agendanya menyebut profesi dirinya bukan pelajar SMA, tapi Mujahid. Karena memang saat itu majalah Sabili sangat laris di sekolah kami. Isinya banyak menampilkan secara Vulgar pembantaian etnis muslim Bosnia oleh Serbia. Dan ini dijadikan pembakar semangat anak2 muda jaman saya waktu itu untuk menjadi "mujahid2 pembela islam", beberapa akhirnya berangkat beneran ke medan perang.
Dari pengalaman menjelajah berbagai versi pemikiran dan aktivis islam dari yg paling radikal sampai liberal itu, dari sunni, sufi, wahabi, syiah, NII, dll itu, saya menyadari walaupun Islam ini mestinya satu, tapi ada banyak versi cara orang memahaminya, sehingga melahirkan banyak versi ekspresi keislaman dan pola tindakan.
Dan dari semua versi tadi, yg paling saya khawatirkan adalah versi kakak kelas saya mendiang Dita Supriyanto yg jadi ketua Anshorut Daulah cabang Surabaya ini. Saya sedih sekali akhirnya ini benar2 terjadi, tapi saya sebenarnya tidak terlalu kaget ketika akhirnya dia meledakkan diri bersama keluarganya sebagai puncak "jihad" dia, karena benih2 ekstrimisme itu telah ditanam sejak 30 tahun lalu.
Dia mengingatkan saya pada kakak kelas lain, ketua rohis SMA 5 Surabaya waktu itu, yg menolak ikut upacara bendera karena menganggap hormat bendera adalah syirik, ikut bernyanyi lagu kebangsaan adalah bid'ah dan pemerintah Indonesia ini adalah thoghut.
Waktu itu sepertinya pihak sekolah tidak menganggap terlalu serius. Karena memang belum ada bom2 teroris seperti sekarang. semua sekedar "gerakan pemikiran". Memang dia dipanggil guru Bimbingan Konseling (BK) unt diajak diskusi, tapi kalau sebuah ideologi sudah tertancap kuat, seribu nasehat ndak akan masuk ke hati. Dan Akhirnya pihak sekolah menyerah, toh dia tidak bertindak anarkis, bahkan terkenal cerdas, lemah lembut dan baik hati.
Akhirnya Ketua rohis saya ini tiap upacara bendera i'tikaf di mushola sekolah. Btw kadang saya kalau lagi males upacara, ikut menemani dia di mushola dan ikut mendegarkan siraman rohaninya. Dan yg seperti ketua rohis saya ini tidak hanya di SMA 5, tapi yg saya tahu ada di hampir semua SMA dan kampus di surabaya atau bahkan di seluruh Indonesia.
Yg ingin saya katakan, Terorisme dan budaya kekerasan yg kita alami saat ini adalah panen raya dari benih2 ekstrimisme-radikalisme yg telah ditanam sejak 30-an tahun yg lalu di sekolah2 dan kampus2. Saya tidak tahu kondisi sekolah dan kampus saat ini, tapi itulah yg saya rasakan jaman saya SMA dan kuliah dulu.
Mohon jangan salah paham, main stream-nya pergerakan islam di sekolah dan kampus ini tidak se-ekstrim kakak kelas saya tersebut. Tapi ada cukup banyak yg sifatnya sembunyi2 dimana saya waktu itu ikut merasakan ngaji bersama mereka.
Serangkaian bom di tanah kelahiran saya dng tempat2 yg sangat akrab di telinga dengan segala kenangan masa kecil, plus pelaku utama yg terasa begitu dekat dengan memori masa2 SMA-Kuliah dulu ini membuat saya tersentak bahwa Ekstrimisme, Radikalisme, bahkan Terorisme ini sudah menjadi "Clear and Present Danger". Ini tidak lagi sebuah film di bioskop atau berita koran yg terjadi nun jauh di negeri seberang. Ini sudah terjadi disini dan saat ini disekitar kita.
Maka kita harus menetralisir kegilaan ini sampai ke akar2nya. Tidak ada gunanya kita melakukan penyangkalan (denial) bahwa ini cuman rekayasa, pelakunya ndak paham islam, ini bukan bagian dari ajaran islam, ini pasti cuman adu domba, dll.
Nyatanya pelakunya masih sholat subuh berjamaah di mushola, lalu satu keluarga berpelukan sebelum mereka menyebar ke 3 gereja unt meledakkan diri.
Nyatanya memang ada saudara2 kita yg memahami islam versi garis keras yg hobinya mengutip mentah2 ayat2 perang dan melupakan substansi "cinta dan kasih sayang" sebagai inti ajaran Islam.
Nyatanya memang benih2 radikalisme, ekstrimisme ini telah ditabur 30 tahun terakhir di pikiran anak2 muda kita, di sekolah2 terbaik dan dikampus2 top di Indonesia. Dan kalau akhirnya mewujud menjadi tindakan nyata terorisme, mestinya tidak mengagetkan kita.
Kalau kita masih saja melakukan penyangkalan, maka kita ndak akan pernah berbenah diri. Tapi kalau kita insyaf bersama, Kalau kita dengan gentle mengakui - bahwa IYA memang kita sedang sakit, bahwa memang ada banyak diantara kita, dan saudara2 kita yg memahami islam versi garis keras, yg merasa bahwa islam harus diperjuangkan dengan kekerasan - maka kita bisa mulai mengambil langkah2 solutif.
Dan langkah2 solutif nyata yg bisa kita lakukan diantaranya adalah:
1. Mulai menetralisir alias melunakkan paham islam garis keras dan mulai menyebar luaskan paham islam moderat (washothiyah).
2. SMA2 dan Kampus2 harus disterilkan dari gerakn2 bawah tanah islam garis keras, diganti dengan kemeriahan dan kegembiraan aktivitas islam yg menebarkan "cinta dan welas asih" pada sesama manusia.
3. Sosial media harus dipenuhi kampanye "islam yg ramah dan penuh kasih sayang". Bukan islam yg keras, penuh umpatan, dan kata2 kasar, apalagi hoax dan berdarah2.
4. Pertarungan politik mohon jangan lagi menggunakan isu SARA sebagai komoditas rebutan kekuasaan. Apalagi disertai kampanye hitam saling menghujat yg membuat bahkan setelah selesai Pilkada/Pilpres-nya masyarakat jadi terbelah saling bermusuhan.
5. Mawas diri dan sama2 menahan diri dalam menyikapi perbedaan2 dalam penafsiran Islam. Islamnya satu dan sumbernya sama, tapi nyatanya cara kita memahaminya bisa macem2. Dan ini fenomena psikologi yg wajar. Ayo tebarkan sikap saling memahami dan berempati, bukannnya saling curiga dan menyalahkan. Islam harus dipulihkan reputasinya dari wajah muram penuh kekerasan menjadi wajah ramah penuh Cinta pada sesama manusia.
Benar kata Muhammad Abduh, cendekiawan muslim abad 20, "Al-islamu Mahjubun bil muslimin", Keindahan Islam ini terhijab/tertutupi oleh akhlak buruk sebagian umat islam sendiri". Jadi mari kita yg akan bersama2 memulihkan wajah Indah Islam.
Terakhir, mari kita dengar seruan seorang remaja islam peraih Nobel Perdamaian, Malala Yousafzai:
"Peluru hanya bisa menewaskan teroris, tapi hanya PENDIDIKAN-lah yg bisa melenyapkan paham terorisme (sampai akar2nya: radikalisme, ekstrimisme)"
Stay Save.. Keep Optimism.. Spread Love & Compassion..
And for my beloved Christian brothers & sisters.. my deep condolence for all of you.. from the bottom of my heart, I am really sorry..
Love & Peace for all of us..
Saya yg sedang berduka,
Ahmad Faiz ZainuddinAlumni SMA 5 Surabaya Lulusan 1995
(mdk/noe)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Hanya sekitar tujuh bulan sejak terpapar paham radikal dari media sosial, HOK sudah nekat mempelajari cara peracikan bahan peledak.
Baca SelengkapnyaTim Densus 88 Polri sedang mengusut proses rekrutmen jaringan terorisme melalui media sosial.
Baca SelengkapnyaHingga kini, kepolisian masih melakukan pemeriksaan lebih lanjut kaitan dengan kejadian itu.
Baca SelengkapnyaTersangka FO sempat membantah dan mengaku jika dirinya tidak melakukan penikaman terhadap korban CR.
Baca SelengkapnyaSeorang santri diduga nekat membakar pondok pesantren di Desa Dayun, Kabupaten Siak, Rabu (18/2), sehingga dua orang rekannya meninggal dunia.
Baca SelengkapnyaPenyidik menyatakan belum ada kesimpulan keterkaitan mereka dengan jaringan terorisme.
Baca SelengkapnyaDensus 88 menangkap pelajar karena diduga hendak melakukan teror bom di sejumlah rumah ibadah di Malang, Jawa Timur.
Baca SelengkapnyaSebelum membunuh sang ibu, pelaku dimarahi ayahnya dengan kata-kata yang memicu emosi.
Baca SelengkapnyaKasus bullying atau perundungan makin marak dalam sebulan terakhir.
Baca SelengkapnyaTersangka membeli bahan peledak menggunakan tabungan uang jajan yang didapat dari orang tuanya.
Baca SelengkapnyaMiris, seorang bocah SD di Situbondo mengaku ikut-ikutan tren viral media sosial dengan menyakiti diri sendiri.
Baca SelengkapnyaSaat ini BNPT memiliki berbagai program yang fokus membentuk kekuatan rumah tangga.
Baca Selengkapnya