Menilik Sejarah De Express, Surat Kabar Perjuangan Politik Tiga Serangkai di Hindia Belanda
Surat Kabar yang berdiri pada tahun 1912 ini media perjuangan yang menyuarakan pemikiran politik yang dirancang oleh tokoh Tiga Serangkai.
Era pendudukan Belanda memicu banyak pihak melahirkan buah ide-ide pemikiran terkait politik. Pers adalah salah satu senjata utama dalam menyebarkan serta menyuarakan paham politik dan semangat nasionalisme. Salah satu surat kabar tersebut dikenal dengan sebutan De Express.
Harian De Express ini pertama kali terbit pada 1 Maret 1912 yang berisi pemikiran-pemikiran politik dan kebangsaan Tiga Serangkai yang terdiri dari E.F.E. Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara. Melalui surat kabar ini pula menjadi jembatan untuk menyebarkan ide-ide nasionalisme.
-
Siapa pendiri Kantor Berita di Hindia Belanda? D.W. Berretty dikenal sebagai seorang reporter sekaligus pendiri kantor berita di Hindia Belanda.
-
Surat kabar apa yang didirikan Tirto? TAS pun menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907), dan Poetri Hindia (1908).
-
Siapa yang mendirikan Indonesische Persbureau? Berdirinya kantor berita Indonesia tak lepas dari sosok RM Soewandi Soerjaningrat atau yang dikenal dengan Ki Hajar Dewantara.
-
Apa nama surat kabar pertama di Jogja? Melalui sebuah unggahan pada 9 Mei 2024, akun Instagram @sejarahjogya menampilkan dua surat kabar yang pertama kali terbit di Jogja. Koran satu bernama 'Mataram Courant' dan satunya lagi bernama 'Bintang Mataram'.
-
Siapa pendiri Indische Partij? Indische Partij adalah partai politik pertama di Hindia Belanda yang didirikan oleh tiga tokoh nasionalis, yaitu E.F.E Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Suwardi Suryaningrat (yang kemudian dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara) pada 25 Desember 1912 di Bandung.
-
Siapa Raja Pers Indonesia? Berkat kontribusinya di dunia pers, nama Dja Endar Moeda selalu dikenang dan menjadi sosok penting dalam profesi jurnalistik Indonesia.
Mengutip situs esi.kemdikbud.go.id, De Express menggunakan bahasa Belanda yang dibanderol seharga enam gulden bagi pelanggan dalam negeri dan tujuh setengah gulden bagi pelanggan luar negeri setiap empat bulan.
Menghimpun Dukungan Indo dan Pribumi
De Express yang dikepalai Douwes Dekker ini memiliki tujuan untuk mengumpulkan dukungan Indo dan Pribumi untuk mendirikan Indische Partij pada 5 Oktober 1912. Ciri khas dari De Express adalah penggunaan kata "Kaum Hindia" atau "Indonesier" yang menunjukkan kesetaraan kaum Indo dan Pribumi.
Dihimpun dari berbagai sumber, kata "Indonesier" dianggap tabu oleh pemerintah Belanda. Maka dari itu, De Express dimasukkan kategori surat kabar terlarang bagi pegawai negeri bahkan hingga perusahaan swasta melarang menerima pegawai yang membaca De Express.
Melalui surat kabar ini pula mampu menarik perhatian orang Indo dan kaum Pribumi yang berakhir setuju atau sepakat untuk masuk menjadi anggota dari Indische Partij. Masalah inilah yang menjadi momok bagi pemerintah kolonial saat itu.
De Express Semakin Berkembang
Surat kabar ini terus berkembang dan namanya semakin terkenal semenjak Ki Hajar Dewantara memuat artikel berjudul Als ik Een Nederlander Was yang artinya Andaikan Aku Seorang Belanda.
Tulisan Ki Hajar Dewantara ini memang bersifat menyindir kaum pemerintah Kolonial yang mengadakan peringatan 100 tahun pembebasan Belanda dari jajahan Prancis di tanah jajahannya sendiri.
Tulisan ini dimuat pada 13 Juni 1913 yang mengisi satu kolom penuh De Express. Dalam tulisan tersebut terdapat beberapa kalimat yang memicu kehebohan serta membuat kemarahan pejabat pemerintah Kolonial. Hal ini dianggap keterlaluan dan penuh ejekan kepada mereka.
Namun, De Express sempat tidak menggubris gertakan dari pemerintah Kolonial. Pada 28 Juli 1913 mereka memuat tulisan sanggahan dari Ki Hajar Dewantara dengan judul "Eeen voor Allen, Allen voor een" yang artinya satu untuk semua, semua untuk satu.
Diberedel Belanda
Keadaan semakin tidak terkendali, akhirnya pada 30 Juli 1913 polisi menangkap Ki Hajar Dewantara dan Cipto Mangunkusumo. Mereka ditangkap atas tindakan menghasut dan meresahkan masyarakat.
Empat hari setelah peristiwa tersebut, sang kepala redaktur yaitu Douwes Dekker juga turut di tangkap polisi karena tidak melaksanakan peringatan pemerintah. Sebelumnya, ia sempat memuat tulisan jika Ki Hajar Dewantara dan Cipto Mangunkusumo adalah seorang pahlawan.
Tiga Serangkai pun akhirnya diasingkan, Cipto Mangunkusumo ke Banda, Ki Hajar ke Pulau Bangka, dan Douwes Dekker ke Kupang. Namun, pengadilan memberi mereka pilihan untuk dibuang ke Belanda, lantas mereka pun memilih ke sana.
Redupnya De Express
Dibuangnya Tiga Serangkai ini membuat nasib De Express di ujung tanduk. Di masa pengasingannya Douwes Dekker masih kerap memuat tulisannya dan Tiga Serangkai masih termasuk dalam editor surat kabar.
Mereka sempat berusaha untuk konsisten menerbitkan surat kabar tersebut namun tidak berhasil. De Express pun akhirnya resmi tutup pada 22 Juli 1914.