Sosok Jahja Datoek Kajo, Anggota Volksraad yang Melawan Belanda Melalui Bahasa Indonesia
Ia tetap konsisten menggunakan Bahasa Melayu dalam pertemuan Volksraad, bahkan saat dirinya berpidato.
Ia tetap konsisten menggunakan Bahasa Melayu dalam pertemuan Volksraad, bahkan saat dirinya berpidato.
Sosok Jahja Datoek Kajo, Anggota Volksraad yang Melawan Belanda Melalui Bahasa Indonesia
Era kolonialisme Belanda banyak melahirkan tokoh-tokoh perjuangan yang melawan penjajahan dengan berbagai cara, tak terkecuali melalui bahasa. Hal itulah yang dilakukan oleh Jahja Datoek Kajo. Jahja Datoek Kajo atau yang kerap disebut Yahya Datu Kayo ini lahir di Kotogadang, Agam, Sumatra Barat pada 1 Agustus 1874. Ia merupakan anggota dari Volksraad, atau dewan perwakilan rakyat Hindia Belanda.
Jahja merupakan anak dari Pinggir Bandaharo Koening dan Bani yang masing-masing merupakan anggota persekutuan Sikumbang dan Piliang. Pada 1882, ia mulai merantau bersama pamannya ke Suliki dan sempat bersekolah selama setahun.
Pendidikan Jahja tidak berjalan mulus, ia harus berpindah-pindah sekolah mulai dari di Pasar Gadang, hingga sekolah privat di Bukittinggi. Lantas, seperti apa sosok dari Jahja Datoek Kajo? Simak profilnya yang dirangkum dari beberapa sumber berikut ini.
-
Siapa yang memimpin perlawanan melawan Belanda? Ketika melawan Belanda, Radin Intan II dikenal sebagai sosok pemimpin panglima perang di usianya yang masih 16 tahun.
-
Siapa tokoh inspiratif dari Aceh yang melawan Belanda? Teuku Nyak Arif, sosok pejuang dan gubernur pertama Aceh. Saat kolonialisme menguasai tanah Aceh, muncul orang-orang yang ingin melawan dan mengusir Belanda dengan berbagai cara.
-
Siapa pahlawan nasional dari Sumatera Barat yang melawan Belanda? Sosok Ilyas Ya'kub mungkin masih belum begitu familiar di kalangan masyarakat Indonesia. Ia merupakan seorang pahlawan nasional Indonesia dari Sumatera Barat yang punya jasa besar dalam melawan Belanda.
-
Siapa yang berjuang untuk Indonesia? Kata-kata ini membangkitkan semangat juang dan patriotisme dalam diri setiap pemuda Indonesia.
-
Siapa yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia? Mari kita hormati para pemberani yang telah berjuang untuk kemerdekaan kita. Selamat Hari Kemerdekaan 17 Agustus!
-
Bagaimana cara Belanda mengendalikan Jawa? Selain membalas dendam atas kematian salah satu perwira VOC, pihak kolonial ingin mengontrol kekuasaan dan perpolitikan di tahan Jawa yang sebelumnya berada di tangan trah Suropati.
Mencari Pengalaman Kerja
Mengutip dari beberapa sumber, pada 1888 Jahja mulai mencoba mencari pengalaman kerja dengan magang di kantor Residen Padang Darat. Di sana ia banyak belajar tentang birokrasi pemerintah kolonial.
Pada 1895, ia mendapat gelar Datoek Kajo dan terpilih menjadi Tuanku Laras Empat Koto. Singkat cerita, pada 1908, Belanda melakukan sistem Belasting atau sistem pajak yang menjadi momen menyedihkan bagi Jahja.
Saat itu, banyak warga di Sumatra Barat yang dibantai oleh tentara Belanda akibat tidak membayar pajak dengan taat. Lantas, ia melaporkan seluruh peristiwa itu yang disebut dengan Tragedi Paladangan kepada atasan. Peristiwa ini menyebabkan Jahja begitu geram.
Rangkap Jabatan
Tahun 1913, Jahja ditugaskan untuk merangkap jabatan sebagai Kepala Laras Banuhampu dan setahun setelahnya ia dipilih menjadi Demang Bukittinggi.
Akibat ketidakcocokan dengan atasan, Jahja pun diminta pindah menjadi Demang Payakumbuh (1915-1918), Padang Panjang (1919-1928), dan Air Bangis (1928-1929).
Jahja kemudian terpilih menjadi anggota Volksraad pada 16 Mei 1927. Ia adalah salah satu dari 25 anggota yang berasal dari golongan Bumiputera. Jahja mewakili Minangkabau pada periode tahun 1927-1931.
Aturan Diskriminatif
Volksraad yang dibentuk pada tahun 1917 ini menegakkan aturan-aturan yang menurut Jahja sangatlah diskriminatif. Salah satu aturan itu berupa pelarangan penggunaan bahasa Melayu dalam sebuah forum atau persidangan.
Jahja Datoek Kajo tidak digubris peraturan itu. Ia tetap konsisten menggunakan Bahasa Melayu dalam pertemuan Volksraad, bahkan saat dirinya berpidato.
Memperjuangkan Bahasa Indonesia
Sikap Jahja yang menggunakan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia itu lantas mendapatkan respons keras dari pihak Belanda. Ia pun kemudian dibenci oleh Belanda.
Ketika Jahja sedang menyampaikan pendapat saat forum atau persidangan, ia meminta kepada hadirin yang lain untuk menyela pembicaraan menggunakan Bahasa Indonesia. Ia mendeklarasikan bahwa dengan menggunakan Bahasa Indonesia karena merasa seorang Indosioner.
Momen puncaknya ketika Jahja sedang berpidato dengan berapi-api menggunakan Bahasa Indonesia. Hal memicu pihak Belanda geram dan dirinya pun mendapat gelar "Jago Bahasa Indonesia di Volksraad" dalam koran-koran Pribumi.