Sejarah Surau Gadang, Warisan Peninggalan Syekh Burhanuddin saat Penyebaran Islam di Sumbar
Tanah Minang memiliki banyak peninggalan sejarah yang menjadi saksi perjuangan para ulama besar dalam menyebarkan Islam di sana.
Tanah Minang memiliki banyak peninggalan sejarah yang menjadi saksi perjuangan para ulama besar dalam menyebarkan ajaran agama Islam di sana.
Sejarah Surau Gadang, Warisan Peninggalan Syekh Burhanuddin saat Penyebaran Islam di Sumbar
Masyarakat Minang pasti sudah tidak asing lagi dengan kata Surau. Dalam sejarah pendidikan Islam di Minangkabau, Surau sangat berperan penting dalam proses penyebaran ajaran-ajaran Islam jauh sebelum adanya metode pendidikan modern yang berbasis Madrasah.
Banyak tokoh-tokoh ulama besar Minangkabau yang mungkin menghabiskan separuh hidupnya di Surau. Salah satunya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Thahir Jalaluddin, dan masih banyak lagi. (Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id)
-
Kenapa Masjid Nurul Islam Tuo Kayu Jao penting bagi sejarah Islam di Sumatra Barat? Masjid tertua di Sumatra Barat ini menjadi peninggalan dari penyebaran dan peradaban agama Islam.
-
Apa arti nama Syahabuddin dalam konteks Masjid di Kerajaan Siak? Melansir dari beberapa sumber, berasal dari gabungan kata bahasa Persia yaitu "Syah" yang artinya penguasa dan juga bahasa Arab "Al-din" berarti agama. Dari penamaan tersebut bahwa sultan sebagai Pemimpin kerajaan dan agama.
-
Siapa yang meneliti sejarah Sidoarjo? Mengutip artikel berjudul Di Balik Nama Sidoarjo karya Nur Indah Safira (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, 2000), Kabupaten Sidoarjo terkenal dengan sebutan Kota Delta yang merujuk pada sejarah daerah ini yang dulunya dikelilingi lautan.
-
Apa yang menjadi pusat penyebaran Islam di Sidoarjo pada masa silam? Masjid Jami' Al Abror di Jalan Kauman Desa Pekauman merupakan salah satu saksi bisu sejarah berdirinya Kabupaten Sidoarjo. Masjid ini juga merupakan pusat penyebaran Islam di Sidoarjo pada masa silam.
-
Apa bukti sejarah yang menunjukan kebesaran Purnawarman? “Inilah (tanda) sepasang telapak kaki yang seperti kaki Dewa Wisnu (pemelihara) ialah telapak yang mulia sang Purnawarman, raja di negeri Taruma, raja yang gagah berani di dunia”.
-
Bagaimana Syaikh Muhammad Suhaimi melawan penjajah? Ia bergerak bersama laskar rakyat Bekasi untuk menumpas kesewenang-wenangan pasukan penjajah.
Kehadiran Surau saat era kolonial Belanda kerap disebut sebagai Indische Scholen (sekolah orang Melayu) atau Godstientscholen (sekolah agama). Bahkan, Surau sendiri menjadi lembaga yang cukup maju pada saat itu hingga orang-orang Belanda pun ikut ambil bagian dalam aktivitas Surau.
Salah satu peninggalan Surau yang ada di Tanah Minang yaitu Surau Gadang. Tempat ini merupakan warisan dari Syekh Burhanuddin yang kini masih dapat ditemukan keberadaannya.
Siapa Syekh Burhanuddin?
Melansir dari situs kebudayaan.kemdikbud.go.id, sebelum membahas Surau Gadang, mari menengok sebentar sosok Syekh Burhanuddin. Ia dikenal dengan nama Burhanuddin Ulakan Pariaman atau disebut juga dengan Syekh Burhanuddin Ulakan.
Ia lahir di Sintuk, Kabupaten Padang Pariaman pada tahun 1646 dan wafat pada 20 Juni 1704. Syekh Burhanuddin adalah ulama yang cukup berpengaruh di Minangkabau terutama dalam menyebarkan ajaran Islam di wilayah Kerajaan Pagaruyung.
Selain menyebarkan ajaran Islam, Syekh Burhanuddin rupanya salah satu tokoh Islam yang ikut andil dalam melawan penjajah Belanda. Ia juga dikenal sebagai ulama sufi pengamal (Mursyid) Tarekat Sathariyah.
Berdirinya Surau Gadang
Setelah Syekh Burhanuddin menuntut ilmu di Aceh, ia kembali ke tanah kelahirannya dan menyebarkan ajaran Islam di sana. Tahun 1680, ia kembali ke Urakan untuk mendirikan Surau di Tanjung Medan.
Di Surau ini beberapa aktivitas keagamaan dilakukan, mulai dari salat lima waktu, mempelajari ilmu agama, musyawarah, berdakwah, hingga kesenian dan belajar ilmu bela diri. Seiring berjalannya waktu, Surau ini berkembang pesat dan menjadi pondok pesantren.
Karena menganut paham Shyatariah, Surau Syech Burhanuddin dikenal sebagai pusat Thareqat Satharyah. Adapun ulama besar yang pernah belajar di Surau ini yaitu Tuanku Koto di Nagari Ampek Angkek Luhak Agam yang merupakan guru dari Tuanku Imam Bonjol.
- 3 Pesona Bangkalan, Tanah Kelahiran Ulama Besar hingga Surga Kuliner
- Menilik Masjid Tuo Ampang Gadang, Saksi Bisu Perkembangan Agama Islam Hingga Perjuangan Imam Bonjol
- Sejarah Pesantren NU Tertua di Pulau Sumatera, Didirikan oleh Ulama Tersohor Berdarah Batak
- Sejarah Badar dan Penyebabnya, Perang Besar Pertama Kaum Muslimin
Bangunan Terbuat dari Kayu
Bangunan Surau ini bentuknya persegi yang terbuat dari kayu dan memiliki kolong setinggi 1,2 meter artinya bangunan ini memiliki tiang-tiang seperti rumah panggung. Atapnya pun juga terbilang unik terutama atap ketiga yang berbentuk seperti gonjong.
Kemudian, pintunya memiliki dua buah daun pintu yang masing-masing lebarnya 1,4 meter dan tinggi 2 meter. Lantai dan dindingnya murni terbuat dari kayu yang telah mengalami pergantian beberapa kali.
Surau ini memiliki 16 buah jendela, 5 di sebelah Utara, 2 di sebelah Barat, 5 di sebelah Selatan, dan 4 buah lagi berada di sebelah Timur. Plafonnya pun juga seluruhnya terbuat dari kayu yang dibagian tengahnya terdapat anyaman kelapa yang berfungsi sebagai penampung kotoran burung.
Di dalam Surau, tepatnya di sisi Barat terdapat Mihrab Surau yang menonjol keluar. Mihrab ini berbentuk persegi panjang dan memiliki tiga buah jendela di sisi Barat.