Mengapa Orang Lebih Mudah Menebak Masa Lalu daripada Masa Depan? Ini Penjelasan Ilmuwan
Studi menunjukkan bahwa orang lebih mudah menebak masa lalu daripada masa depan.
Penelitian sebelumnya menemukan bahwa manusia umumnya sama baiknya dalam menebak masa lalu yang tidak diketahui dan masa depan. Namun, studi tersebut menggunakan urutan sederhana seperti angka, gambar, atau bentuk, yang tidak mencerminkan skenario kehidupan nyata yang lebih kompleks.
“Peristiwa dalam kehidupan nyata memiliki asosiasi yang lebih kompleks terkait dengan waktu, yang belum banyak dieksplorasi dalam penelitian sebelumnya,” kata penulis senior Jeremy Manning, profesor psikologi dan ilmu otak di Dartmouth serta direktur Contextual Dynamics Lab di Dartmouth dikutip dari NeuroScienceNews, Jumat (4/10).
-
Apa yang diuji oleh ketiga ilmuwan tersebut? Mereka adalah trio ilmuwan yang berhasil memenangkan penghargaan Nobel Prize 2022 dengan jumlah hadiah sebesar 10 juta krona Swedia (USD915.000) atau Rp 14 miliar. Penghargaan tersebut diraih atas keberhasilannya dalam melakukan eksperimen mekanika kuantum dan menjelaskan titik lemah dari Teori Kuantum temuan Einstein.
-
Apa yang ditemukan oleh para ilmuwan? Ilmuwan menemukan dua spesies dinosaurus baru, yang hidup 66 juta tahun lalu.
-
Bagaimana ilmuwan mempelajari inti Bulan? Teknik penelitian yang digunakan meliputi analisis gelombang akustik yang dihasilkan oleh gempa di permukaan Bulan.
-
Mengapa para ilmuwan menganggap kejadian ini langka? “Setahu kami, ini adalah dokumentasi pertama dari peristiwa piton Burma memangsa piton Batik,” tulis penulis dalam makalah yang dipublikasikan.
“Pengalaman dalam kehidupan nyata, berbeda dengan urutan abstrak, sering melibatkan orang lain,” tambah dia.
Dalam studi ini, peserta menonton beberapa adegan dari dua drama televisi berpusat pada karakter, Why Women Kill di CBS dan The Chair di Netflix. Mereka diminta untuk menebak apa yang terjadi sebelum setiap adegan atau apa yang akan terjadi setelahnya.
Hasilnya, peserta lebih baik dalam menebak apa yang telah terjadi sebelum adegan yang baru saja ditonton dibandingkan menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Para peneliti menemukan bahwa inferensi peserta sangat dipengaruhi oleh referensi karakter terhadap peristiwa masa lalu dan masa depan dalam percakapan mereka.
Seperti halnya dalam kehidupan nyata, karakter dalam kedua acara sering berbicara tentang pengalaman masa lalu dan rencana masa depan mereka. Karena karakter dalam dua acara tersebut cenderung lebih sering berbicara tentang masa lalu mereka, peserta memiliki lebih banyak petunjuk untuk membuat kesimpulan tentang peristiwa masa lalu dibandingkan dengan peristiwa masa depan.
Untuk menentukan apakah pola ini juga berlaku dalam percakapan lain, tim peneliti menganalisis jutaan dialog dalam novel, film, acara televisi, dan lainnya. Mereka menemukan bahwa baik karakter fiksi maupun orang sungguhan cenderung lebih sering berbicara tentang masa lalu mereka dibandingkan masa depan.
Meskipun kita dapat membuat rencana untuk masa depan, memori kita hanya memberi tahu tentang masa lalu kita. Seperti halnya orang sungguhan mengingat pengalaman sebelumnya tetapi tidak dapat meramalkan masa depan, demikian juga karakter fiksi, mungkin sebagai upaya penulis untuk membuat mereka terlihat realistis, menurut para penulis studi.
“Hasil kami menunjukkan bahwa rata-rata, orang berbicara satu setengah kali lebih banyak tentang masa lalu daripada masa depan,” kata Manning.
“Dan ini tampaknya menjadi tren umum dalam percakapan manusia," tambahnya.
Penelitian sebelumnya menyebut fenomena mengingat masa lalu tetapi tidak masa depan ini sebagai 'panah waktu psikologis.'
"Fenomena ini juga mencerminkan bahwa seseorang tahu lebih banyak tentang masa lalunya daripada masa depannya," jelas penulis utama Xinming Xu, mahasiswa PhD di Departemen Psikologi dan Ilmu Otak di Dartmouth serta anggota Contextual Dynamics Lab.
“Studi kami menunjukkan bahwa pengetahuan asimetris seseorang tentang kehidupannya dapat ditransmisikan kepada orang lain.”
Peneliti dari Peking University, Ziyan Zhu, dan Xueyao Zheng dari Beijing Normal University, juga berkontribusi pada studi ini.