Kisah Observatorium Pertama di Indonesia, Dibangun di Batavia Tahun 1765 dan Kini Hilang Tak Tersisa
Rupanya Bosscha bukan satu-satunya obervatorium yang pernah berdiri di Indonesia.
Rupanya Bosscha bukan satu-satunya obervatorium yang pernah berdiri di Indonesia.
Kisah Observatorium Pertama di Indonesia, Dibangun di Batavia Tahun 1765 dan Kini Hilang Tak Tersisa
Mayoritas masyarakat Indonesia menganggap Bosscha sebagai observatorium tertua di Indonesia. Sampai sekarang observatorium ini masih aktif digunakan sebagai lokasi pengamatan dan penelitian pusat tata surya di Indonesia.
Letaknya berada persis di dataran tinggi Bandung yang kerap dijadikan sebagai lokasi wisata.
-
Kapan observatorium ini dibangun? Bangunan ini diperkirakan berasal dari abad ke-6 SM, menjadikannya salah satu observatorium astronomi terbesar yang pernah ditemukan di Mesir.
-
Dimana arkeolog menemukan observatorium itu? Situs tersebut merupakan bagian dari Kuil Firaun yang berlokasi di Kota Buto.
-
Bagaimana observatorium ini dibangun? Bangunan ini, yang terbuat dari batu bata lumpur dan mencakup area seluas 850 meter persegi, memiliki bentuk menyerupai huruf L. Pintu masuknya menghadap ke timur, arah terbitnya Matahari, sesuai dengan fungsi astronomisnya.
-
Dimana Kapal Batavia kandas? Namun, karena kesalahan navigasi atau sejumlah sumber mengatakan bahwa adanya kesengajaan, kapal ini menabrak karang di dekat pulau-pulau Houtman Abrolhos pada tanggal 4 Juni 1629.
-
Apa jejak Inggris di Batavia? Jejak yang tersisa dari datangan Inggris di Batavia hanyalah melalui sebuah mercusuar yang terbuat dari besi tinggi. Terlihat di bagian atasanya terdapat lampu menyerupai sirine.
-
Di mana bangunan ditemukan? Arkeolog menemukan struktur atau bangunan misterius di bawah lapangan bola bangsa Maya di Campeche, Meksiko.
Rupanya Bosscha bukan satu-satunya obervatorium yang pernah berdiri di Indonesia. Usut punya usut, satu setengah abad sebelumnya sudah pernah berdiri Observatorium Mohr di wilayah Batavia.
Lokasi ini pun dipercaya sebagai pusat penelitian astronomi pertama dan terawal yang pernah didirikan di tanah jajahan nusantara. Gedungnya juga megah, dengan desain modern di masanya. Namun sayang, keberadaannya kini sudah tidak diketahui dan lenyap seiring berjalannya waktu.
Sosok Pendiri Observatorium Mohr
Adalah Johan Maurits Mohr, seorang pendeta dan tokoh astronomi keturunan Belanda-Jerman yang membidani lahirnya obervatorium pertama di Indonesia itu.
Kala itu, pada 1761, Mohr muda yang baru menempati Batavia mendapat tugas menjadi asisten pengamat transit venus oleh tim Belanda, Gerrit de Haan yang juga kepala departemen pemetaan VOC, dan Pieter Jan Soele yang merupakan salah satu kapten kapal VOC.
Merujuk laman Kafe Astronomi, momen antariksa tersebut terbilang jarang terjadi dan hanya bisa dilihat di tempat-tempat tertentu. Ini membuat para ahli astronomi berlomba untuk melakukan pengamatan dan penelitian secara jelas untuk mengungkap fenomenanya.
Suksesnya Pengamatan Transit Venus dan Berdirinya Observatorium Mohr
Bermodalkan alat pengamat sederhana berupa teleskop reflektor Gregorian, masing-masing dengan panjang fokus 46 cm dan 68 cm, dilengkapi oktan London dan beberapa jam saku yang telah dikalibrasi, pergeseran planet venus itu terlihat cukup jelas dan tanpa gangguan.
Ini didukung cuaca yang cerah dan minim gangguan di angkasa. Selain itu, kesuksesan pengamatan juga didukung letak posisi pantau yang dianggap strategis di sebidang tanah kosong milik Mohr.
Keberhasilan ini kemudian dimanfaatkan Mohr untuk merinci laporan pengamatan, dan membuat catatan-catatan penting tentang pengamatan.
Ia lambat laun mulai fokus di bidang pengamatan rasi bidang hingga berniat mendirikan obervatorium di tanah kosong yang ia miliki.
Dibangunnya Observatorium Mohr Tahun 1765
Setelah mertuanya wafat, ia mendapat dana warisan sebanyak ratusan ribu Gulden yang kemudian uangnya ia pakai untuk memenuhi ambisinya membangun observatorium pribadi.
Pembangunan berjalan selama beberapa tahun, dengan dana sebesar 200.000 gulden atau setara Rp82 miliar lebih. Ketika itu peralatan modern sudah digunakan, dan didatangkan secara bertahap sampai tahun 1767.
Salah satu alat yang digunakan adalah teleskop reflektor Gregorian buatan Dollond (Inggris) yang memiliki panjang fokus 107 cm. Alat ini mampu menjangkau langit utara dan selatan termasuk segala penjuru Batavia. Rencananya, stasiun pengamatan akan digunakan untuk pengamatan transit venus berikutnya yang diperhitungkan terjadi pada 1769.
Keberhasilan Menangkap Transit Venus 1769
Sejak sebelum pukul 7, para ahli sudah berkumpul di bangunan megah milik Mohr. Mereka ingin membantu menyukseskan pengamatan transit venus yang ke dua kalinya. Mohr sempat khawatir lantaran cuaca pagi itu tampak mendung.
Beruntung pukul 08.00 pagi, awan hitam mulai menghilang sehingga pengamatan bisa dilanjutkan. Antara pukul 08.00 sampai 08.20, cuaca mulai cerah dan puncak di pukul 08:30:13 sampai 08:30:31 transisi venus terlihat cukup jelas.
Bundaran hitam yang menutup matahari termati dengan tanpa gangguan. Mohr dan timnya amat beruntung karena pengamatannya cukup mencapai harapan. Bangunan observatorium itu kemudian jadi kian populer.
Jadi Bangunan Tertinggi di Batavia
Mengutip laman Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA), bangunan observatorium itu menjadi bangunan termegah dan tertinggi di Batavia pada masanya. Mohr mendesainnya dengan enam lantai, dengan bagian atasnya yang diberi kubah dan fasad besar.
Di sana juga terdapat cermin pemantau berbentuk matahari, yang zaman dahulu digunakan untuk penentu kordinat.
Sayangnya, setelah Mohr dan istrinya meninggal, bangunan tersebut tidak terurus dan lapuk dimakan usia. Terlebih adanya gempa bumi di tahun 1800-an membuatnya hanya tersisa puing-puing.
Bangunan ini juga sempat dijadikan sebagai markas militer dan tempat persembunyian sampai bangunan benar-benar hilang.
Sisa Observatorium di Masa Sekarang
Menurut pengamat sejarah Candriyan Attahiyyat di kanal YouTubenya, diketahui bangunan tersebut saat ini sudah tidak tersisa.
Yang ada hanya bangunan Vihara Dharma Bakti yang dibangun di tahun yang sama.
Kawasan itu saat ini bernama Gang Torong 1 dan 2, yang konon penyebutannya berasal dari bahasa lokal Torong (merujuk ke Torenlaan) bangunan tinggi zaman Belanda.
Daerah sekitar observatorium juga sudah menjadi kawasan padat penduduk, dan kini menjadi daerah pecinan Glodok.