Desa Terpencil di Semarang Ini Dulunya Pernah Jadi Tempat Bertapa Filsuf Tanah Jawa, Begini Kondisinya
Tempat itu kini menjadi semak belukar yang tanahnya dimiliki oleh Keraton Yogyakarta

Tempat itu kini menjadi semak belukar yang tanahnya dimiliki oleh Keraton Yogyakarta

Desa Terpencil di Semarang Ini Dulunya Pernah Jadi Tempat Bertapa Filsuf Tanah Jawa, Begini Kondisinya

Walaupun terlahir dari keluarga ningrat, Ki Ageng Suryomentaram (1892-1962) memilih jalan hidupnya dengan menjadi rakyat jelata. Ia hidup menyendiri dan bertapa di tempat-tempat sepi.

Salah satu lokasi yang diyakini menjadi tempat tinggal Ki Ageng Suryomentaram adalah Desa Kroyo, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang. Di sana, tokoh filsuf tanah Jawa itu hidup sebagai rakyat jelata.
Lokasi tempat tinggal sang filsuf cukup terpencil dan jalan menuju ke sana harus melewati semak belukar yang lebat. Setelah melewati medan yang cukup berat, sampailah di sebuah monumen yang dulunya menjadi tempat tinggal Ki Ageng Suryomentaram.

Monumen itu berbentuk bangunan terbuka dengan empat tiang penyangga. Atapnya berupa seng dan alasnya berupa cor semen.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, dulunya bangunan itu merupakan kamar pribadi Ki Ageng Suryomentaram.
Rumahnya sendiri cukup besar dan terbuat dari kayu jati. Rumah itu sempat dijadikan balai desa saat sang filsuf sudah tidak lagi menempatinya. Namun kini yang tersisa hanyalah bangunan terbuka itu.
Dilansir dari kanal YouTube Jejak Tempo Doeloe, dulunya di desa itu Ki Ageng Suryomentaram hidup sebagai petani. Di desa itu pula ia menjadi guru ilmu kebatinan bernama “Kawruh Bejo”. Penganut ilmu kebatinan tersebut cukup banyak dan tersebar di seluruh penjuru Pulau Jawa.


Di tempat itu Ki Ageng Suryomentaram memberikan ceramah-ceramah tentang ajarannya. Namun pada suatu hari ia jatuh sakit. Ki Ageng Suryomentaram dibawa pulang ke Yogyakarta untuk berobat. Hingga akhirnya ia meninggal dunia pada 18 Maret 1962.
Kembali ke Desa Kroyo, tak jauh dari tempat Ki Ageng Suryomentaram bertapa, terdapat sebuah aliran sungai yang airnya cukup jernih. Dulunya tempat itu digunakan untuk mandi sang filsuf. Di sana juga tersedia tangga yang dulunya digunakan Ki Ageng Suryomentaram untuk turun ke sungai.


Tak jauh dari tempat itu, terdapat sebuah pohon besar. Konon di sana dulu masyarakat melihat sebuah kursi singgasana emas yang muncul secara gaib. Tak hanya itu, terdengar pula suara pekikan kuda yang konon dipercaya sebagai kuda milik Ki Ageng Suryomentaram.

Kini tanah kosong yang berada di tengah hutan dan semak belukar itu berada di bawah kepemilikan Keraton Yogyakarta. Di sana terdapat beberapa pohon hutan seperti mangga hutan dan pohon aren yang masih disadap oleh masyarakat setempat.