Paguyuban Bank Sampah DIY, Bawa Mimpi Kota Jogja Lepas dari Masalah Sampah
Sejak 2018 berdiri, paguyuban ini mempraktikan cara mengubah sampah organik sisa dapur menjadi kompos, protein tumbuhan sampai cairan ecoenzyme
Deret papan kampanye kebersihan terpasang di rumah milik Zaenal Mutakim (53), Gang Sumilir, nomor 75 B, RT 02, Gatak, Tamantirto, Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY. Di antaranya tertulis pesan seperti “Lingkungan Asri Menarik Hati”, “Kelola Sampah Jadi Berkah” sampai “Sampahmu Tanggung Jawabmu”.
Pria yang karib disapa Takim ini sudah enam tahun terakhir aktif menyerukan pentingnya pengelolaan sampah dari rumah. Ia bersama puluhan kelompok warga di Yogyakarta, menginisiasi pembentukan Paguyuban Bank Sampah DIY yang mengedukasi hingga ke permukiman di wilayah perkotaan.
-
Bagaimana sampah di Kota Jogja dibersihkan? Pada Senin pagi (9/10), seperti terlihat pada akun Instagram @merapi_uncover, tampak beberapa petugas kebersihan sedang membersihkan sampah-sampah yang menumpuk. Mereka juga membawa satu unit truk untuk memindahkan sampah-sampah tersebut ke dalam truk.
-
Sampah apa yang menumpuk di Kota Jogja? Tampak tumpukan sampah pada salah satu sudut jalanan Kota Yogyakarta. Tumpukan sampah itu memanjang mencapai 50 meter.
-
Dimana sampah di Kota Jogja menumpuk? Dalam sebuah video viral yang diunggah akun Instagram @merapi_uncover, tampak tumpukan sampah pada salah satu sudut jalanan Kota Yogyakarta.
-
Apa yang sedang terjadi di Jogja terkait sampah? Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan masih ditutup dan akan terus berlangsung dalam beberapa hari ke depan.
-
Kenapa sampah di Kota Jogja dibiarkan menumpuk? Viral Tumpukan Sampah Sepanjang 50 Meter di Kota Baru Jogja, Begini Kondisinya Sekarang Penanganan sampah yang lambat dari pihak terkait mendapat kritikan dari warganet.
-
Apa yang dilakukan Pemkab Bantul untuk mengatasi sampah? “Mohon kerja sama kabupaten/kota untuk mengambil langkah-langkah penanganan sampah secara mandiri di wilayah masing-masing. Penutupan itu juga hasil kesepakatan rapat Sekda DIY dengan Sekda Kabupaten Sleman, Sekda Kabupaten Bantul, dan Sekda Kota Yogyakarta,“ katanya melalui sebuah surat edaran.
Bukan tanpa alasan paguyubannya melakukan hal demikian, mengingat kota besar seperti Yogyakarta rentan mengalami masalah darurat sampah layaknya di akhir 2023 hingga awal 2024 lalu. Jika diamati, kondisi sampah saat ini masih belum tertangani dengan baik.
“Sampah di Yogyakarta ini rasane ora kelar-kelar, ora uwis-uwis (rasanya enggak pernah selesai, enggak ada habisnya). Pertanyaannya, kepiye kok ngene? Gitu kan? Terus muncul timbunan sampah di 14 depo yang ada di kota,” kata Takim, kepada Merdeka.com, Minggu (8/9).
Sampah Tidak Benar-benar Dipilah
Berdasarkan data di situs resmi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Yogyakarta, per bulan Juni lalu total sampah yang diproduksi warga bisa sekitar 5.000 ton yang tersebar di beberapa titik di Kota Yogyakarta. Itulah mengapa, beberapa depo seperti Mandala Krida sempat penuh hingga mengganggu warga sekitar.
Untuk mengatasi masalah darurat sampah, pemerintah setempat mengeluarkan imbauan untuk memilah sampah dari rumah. Namun nyatanya, pesan ini belum tersosialisasi dengan baik di kalangan masyarakat.
Ini dibuktikan dengan masih banyaknya warga yang mencampur sisa limbah dapur, plastik, perabot rumah tangga hingga botol serta piring kaca. Belum lagi, pengelolaan di depo juga masih tercampur sebelum diangkut oleh truk sampah.
Saat ada warga yang hendak membuang sampah organik justru ditolak, lantaran terlalu basah. Ini karena ada depo-depo yang ada sempat menerapkan sistem RDF (Refuse Derived Fuel), yakni sampah yang dikeringkan.
Sebagai pihak yang sadar akan kondisi darurat, Takim menginginkan agar sampah bisa terkelola dengan baik dari hulu ke hilir. Ia tidak ingin hanya warga yang bergerak, karena sampah pada dasarnya adalah masalah bersama.
“Dari depo ini sosialisasi mengolah sampah dari rumah masih belum maksimal. Di depo pun masih banyak yang membuang secara tercampur organik dan non organik,” katanya
Belakangan, sampah yang menumpuk kemudian tetap dibuang di Piyungan namun dengan skala yang amat terbatas. Pembuangan hanya dilakukan saat masa darurat, di area yang sudah disiapkan secara khusus.
Kendati demikian, TPA Piyungan saat ini sudah ditutup total setelah penumpukan sampah di depo sudah mulai berkurang.
Pengelolaan Sampah di Kota Yogya Belum Maksimal
Menurut laman resmi Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta, saat ini tercatat ada 479 bank sampah tersebar di 14 kemantren dan 45 kelurahan. Klasifikasinya pun beda-beda, ada Bank Sampah Pembina, Bank Sampah Inovatif dan Bank Sampah Reguler.
Sebagai warga yang menaruh perhatian terhadap sampah di wilayah Kota Yogyakarta, Takim masih berharap adanya keterlibatan pemerintah agar membantu optimalisasi bank sampah-bank sampah yang ada.
Selain itu, dinas terkait juga bisa menangkap kebutuhan warga untuk menyediakan fasilitas pengolahan sampah sederhana dari rumah seperti pipa atau bahan komposter agar mengurangi keterisian depo-depo yang ada.
“Kalau bisa ditangkap, harusnya ada anggaran agar program supaya kampanyenya maksimal. Ini kan bagian dari membantu program pemerintah juga, sehingga tidak sekedar dilombakan supaya ada keberlanjutan,” ujarnya
Paguyuban Bank Sampah DIY Bantu Warga Atasi Masa Darurat dari Rumah
Berkaca dari masalah sampah di Kota Yogyakarta ini, Takim lantas menggencarkan kampanyenya bersama Paguyuban Bank Sampah DIY. Mereka bergerak ke banyak permukiman termasuk di kota, untuk memberikan solusi pengelolaan sampah yang mudah hanya dari halaman rumah.
Sejak 2018 berdiri, paguyuban ini mempraktikan cara mengubah sampah organik sisa dapur menjadi beberapa produk seperti kompos, protein tumbuhan sampai cairan eco enzyme yang memiliki banyak manfaat.
Takim pun mengenalkan bahwa fungsi bank sampah di paguyubannya tidak harus tentang menabung menjadi uang. Namun sampah bisa menyulap bekas konsumsi rumah tangga, menjadi penyubur tanaman.
Paling sederhana, paguyuban ini memberikan pelatihan pembuatan kompos melalui biopori atau menimbun sampah sisa rumah tangga untuk dilakukan pembusukan. Kemudian, setelah beberapa waktu dipanen dan bisa digunakan sebagai penyubur tanaman.
Kemudian, ada juga teknik ember tumpuk yakni dengan membusukkan sampah di dalam beberapa tumpuk ember untuk difermentasikan. Terakhir, paguyuban juga mengenalkan sistem komposter dengan nama “Losida” atau lodong sisa sampah yang terbuat dari pipa paralon.
Gerakan ini mudah dilakukan di rumah, termasuk jika tidak memiliki lahan yang luas sehingga tidak berakhir percuma di depo maupun tempat pembuangan akhir.
“Ini mungkin akan menjawab permasalahan-permasalahan sampah yang kerap timbul, di desa, di kampung dan di kota,” ujar Takim.
Dari Warga untuk Kota Yogya
Upaya Takim bersama Paguyuban Bank Sampah DIY tidak berhenti sampai di halaman rumah. Baru-baru ini misalnya, Paguyuban Bank Sampah DIY juga menjalankan gerakan bersih-bersih di kawasan Malioboro sebagai pusat kota dan pariwisata.
Tak dipungkiri, Malioboro menjadi salah satu penghasil sampah di Kota Yogyakarta. Sampah-sampah di sana dimungkinkan muncul dari kegiatan pariwisata seperti wadah sisa makanan dan botol minuman yang tidak dibawa kembali.
Pada kegiatan yang dilaksanakan 20 Agustus 2024 itu, sebanyak 200-an orang termasuk para pedagang di Teras Malioboro ikut serta membersihkan pedestrian. Sejak pagi hingga siang, total terkumpul sampah hingga 546,6 kilogram.
“Dari kegiatan bersih-bersih mulai titik nol sampai utaranya, ternyata ketemu sampah sebanyak 546,6 kilogram, mulai dari plastik, kotak makan, botol minuman kaca dan lain sebagainya,” ujar Takim.
Selain sebagai gerakan bersama, pembersihan kawasan Malioboro dari sampah juga sebagai cara mengenalkan kebersihan kepada turis yang berkunjung. Sebagai kota tujuan dari berbagai wilayah di Indonesia, Paguyuban Bank Sampah DIY ingin nantinya label bersih melekat dengan Yogyakarta.
Lebih jauh, gerakan ini berbuah harapan agar ditiru oleh daerah masing-masing wisatawan sehingga Kota Yogyakarta nantinya bisa dijadikan sebagai percontohan kota wisata yang rapi, bersih dan nyaman di kunjungi.
“Bersih-bersih ini menyasar sela-sela tempat duduk, area pepohonan dan ke depan diharapkan bisa tercipta budaya sesuai temanya yakni “piknik ora nyampah” atau “Malioboro resik”,” tambahnya.
Gerakan kolaboratif ini rupanya juga dipraktikan oleh salah seorang warga bernama Sri Wahyuni, asal Tegalmulyo, Kelurahan Pakuncen, Kecamatan Wirobrajan, Kota Yogyakarta. Ia turut tergabung dengan Paguyuban Bank Sampah DIY mewakili daerahnya, yakni Tegalmulyo.
Dari lini paling kecil di rumahnya, perempuan 63 tahun itu berusaha untuk mengelola sampah-sampah di sekitar. Mula-mula Ia memendam daun-daun kering yang berjatuhan di pekarangan, lalu didiamkan selama tiga bulan. Setelah terjadi pembusukan, sampah tersebut bisa digunakan sebagai kompos untuk tanamannya.
“Awalnya kan saya bikin semacam jogangan, kemudian daun jambu yang rontok saya tampung di tas kresek lalu saya siram air. Kemudian saya kubur selama tiga bulan, sebelum dipanen komposnya,” ujarnya yang juga sebagai wakil direktur di Bank Sampah Mulyoasri, RT 08, RW 02.
Kebiasaan pribadi yang baik ini tentu ia tularkan kepada total 60-an warga di Tegalmulyo. Terlebih, Sri merupakan ketua RT setempat sehingga bisa merangkul para tetangga di sekitar tempat tinggalnya.
Tegalmulyo Selamat dari Masa Darurat Berkat Paguyuban Bank Sampah
Alih-alih panik karena sudah tidak ada angkutan sampah di masa darurat tempo hari lalu, warga Tegalmulyo justru terbilang kondusif.
“Ketika masa darurat kemarin itu alhamdulillah warga tidak panik, sampah organik itu masuk biopori sama kompos. Kalau untuk daun, dimasukan ke dalam kompos, kalau sisa dapur itu masuknya biopori,” ujar Sri.
Sebab, Sri tak pernah bosan mengajak warga untuk ikut gerakan mengelola sampah dari halaman rumah ketika sedang arisan atau kumpulan ibu-ibu PKK. Warga di sana kemudian jadi terbiasa untuk memanfaatkan biopori, losida maupun menimbun sisa daun kering di pekarangannya guna dijadikan kompos.
“Kalau di Tegalmulyo, seluruh warganya total ada 67 kepala keluarga sudah memasang biopori, jadi dipasang di tiap yang punya lahan saja,” terang Sri
Di Bank Sampah Mulyoasri yang ia kelola bersama warga, turut tercipta kerajinan dari sisa sampah non organik. Botol-botol plastik sisa kemasan plastik minuman sampai kantong kresek tebal disulap Sri menjadi produk kerajinan yang bernilai ekonomi.
Beberapa yang sudah dibuat di antaranya topi caping, tas jinjing, hingga manik-manik untuk hiasan rumah. Sebagian dari karyanya itu ia jual personal dari mulut ke mulut, dengan hasil keuntungan untuk pengepul di bank sampah.
Sampah Tak Terkelola Berasal dari Pergeseran Budaya
Runyamnya masalah sampah di Kota Yogyakarta ini turut direspons oleh peneliti Kajian Media dan Budaya Urban Universitas Islam Indonesia, Zaki Habibi. Ia menyebut jika kota seperti Yogyakarta kerap menjadi ruang keberagaman yang tidak bisa lepas dari masalah sampah.
Banyak orang yang bersekolah, bekerja hingga berwisata melakukan aktivitas berbelanja, mengolah makanan atau membeli suatu barang yang memungkinkan menghasilkan suatu benda sisa yang tak terpakai.
“Sampah ini kalau dilihat dari human geografi atau cultural geografi adalah kehadiran yang mutlak dari sebuah ruang hidup bersama, atau urban bernama wilayah perkotaan,” ujar Zaki.
Sebagai ruang keberagaman, Kota Yogyakarta terbilang kecil dan hanya sekitar 20 kilometer persegi. Lalu, pertumbuhan penduduk yang diiringi pembangunan juga masif dan turut memengaruhi produksi sampah yang kompleks.
Zaki turut menilai, adanya pergeseran budaya dalam 50 tahun terakhir membuat pengelolaan sampah seharusnya ikut berubah.
“Dulu, warga Yogyakarta dengan luasan tanah tinggi, punya budaya memendam sampah. Sampahnya juga ada pembungkus makanan tapi dari daun, perabot rumah tangga tapi dari kayu, yang semuanya bisa lebur di tanah. Tetapi sekarang, semuanya plastik,” terangnya.
Perlu Solusi yang Sesuai dengan Kondisi Kota Yogyakarta
Peneliti yang telah 20 tahun menggeluti isu-isu perkotaan dan kultur urban ini kemudian menyampaikan, perlu adanya solusi yang sesuai dengan kondisi ruang sosialnya yang beragam.
Ia mencontohkan, jika di Australia pengelolaan sampahnya dilakukan secara penuh oleh negara. Di negara bagian Perth, warganya tidak diminta untuk memilah sampah dari rumah. Penduduk setempat hanya diminta untuk menumpuk berbagai jenis limbah mulai dari kertas, karton, plastik, organik, kayu dan lain sebagainya untuk satu minggu sekali diangkut oleh truk.
Karena di Australia banyak lahan yang kosong, pemerintah kemudian bisa membangun shelter pengolahan sampah. Seluruh muatan dari truk kemudian dipilah di sana untuk selanjutnya diolah maupun dilenyapkan.
“Si pengurus sampah ini adalah perusahaan swasta yang ditunjuk lalu diawasi oleh negara, atau badan khusus, kemudian diolah sehingga minim residu, warga pokoknya hanya diminta bayar pajak besar,” kata Zaki
Lalu, Zaki juga mencontohkan satu kota lain yang terbilang baik pengelolaan sampahnya yakni di Kota Lund, Swedia. Di sana, setidaknya terdapat lebih dari empat jenis pengelompokan sampah yang wajib ditaati oleh warga.
Penerapan ragam pengelompokan merupakan penyesuaian dengan kondisi di Lund yang bersuhu dingin. Ini membuat pohon-pohon tertentu untuk bahan baku kertas sulit dibudidayakan, sehingga seluruh barang yang beredar berasal dari luar negara.
“Jadi ada sampah organik, non organik, karton, kertas, kardus, kaleng dan seterusnya. Swedia ingin fokus pada kesadaran bahwa mengolah sampah merupakan edukasi, karena ada kesadaran sumber daya mereka yang very-very limited,” ucapnya
Dari dua contoh tadi, Zaki menekankan bahwa cara tunggal seperti sistem open dumping di lahan besar untuk menumpuk sampah bukanlah solusi jangka panjang. Bahaya ke depan, sistem ini akan menimbulkan banyak masalah seperti polusi udara, polusi air lindi hingga kebisingan alat berat.
Negara Berbuat, Warga Terlibat
Ditambahkan doktor lulusan Lund Univesity Swedia ini, untuk menyelesaikan masalah sampah di wilayah Yogyakarta secara keseluruhan, setidaknya bisa menggunakan dua cara yakni gerakan strategis dari pemerintah dan kolaboratif organik dari warga berbasis komunitas maupun individu.
Untuk yang strategis, dengan kondisi keruangan Yogyakarta, bisa dibuatkan sentra pemilahan dan pengolahan sampah yang tidak tunggal melalui sistem tiga blok, pertama pemilahan, kedua pengolahan dan ketiga itu blok sirkular ekonomi.
“Di blok pertama sampahnya dipilah, kedua dikumpulkan di shelter pengolahan, dan yang ketiga itu blok sirkular ekonomi, misal kita punya budaya awul-awul pakaian, yang masih layak bisa diperbaiki untuk mendatangkan ekonomi, tapi ini jangan impor karena sama saja numpuk sampah,” kata Zaki
Zaki juga mengamati bahwa, gerakan organik yang berbasis inisiatif komunitas seperti Paguyuban Bank sampah DIY harus terus diperhatikan oleh pemerintah. Sebab, komunitas berbasis kerakyatan yang berkonsentrasi dalam mengelola sampah bisa membantu menyelesaikan permasalahan darurat di Kota Yogyakarta secara kolaboratif.
“Jadi harusnya ada sistem yang mengatur dengan rapi soal sampah di Kota Yogyakarta ini, mungkin mudahnya negara berbuat, warga terlibat, jadi bukan solusi tunggal,” tambahnya
Zaki masih optimis bahwa Kota Yogyakarta bisa menyelesaikan sampahnya dengan baik dan tuntas ke depan.