Uji Nyali di Gedung Setan Surabaya, Rumah yang Dibangun Pejabat Tinggi 200 Tahun Silam tapi Tak Pernah Ditinggali
Rumah itu dulunya merupakan salah satu rumah termegah di Surabaya.
Sebuah bangunan di Kelurahan Banyu Urip, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya dikenal dengan sebutan Gedung Setan. Penamaan ini merujuk pada kepercayaan warga sekitar yang meyakini gedung tersebut dihuni makhluk-makhluk gaib.
Mengutip Liputan6.com, gedung ini awalnya adalah sebuah rumah yang dibangun oleh seorang pejabat tinggi pada masa kolonialisme Belanda di Kota Surabaya. Pada masa kolonial Belanda, rumah yang tak pernah ditinggali pemiliknya ini dikenal dengan sebutan 'Spookhuis' yang dalam Bahasa Indonesia berarti Rumah Hantu.
-
Mengapa gedung itu disebut Gedung Setan? Menurut warga sekitar, daerah tersebut angker dan sering terjadi kecelakaan. Dahulu, bila kenek angkutan umum menunjukkan pada penumpang yang ingin berhenti, mereka sering menyebutnya 'Gedung Setan, Gedung Setan.'
-
Dimana Gedung Setan berada? Dulu bangunan itu terletak di Jl Imam Bonjol Semarang.
-
Apa fungsi Gedung Setan? Sejak awal dibangun, gedung itu berfungsi sebagai markas para pengikut aliran Freemason.
-
Kenapa gedung Loji Batavia dijuluki gedung setan? Sejarawan Onghokham, seperti dikutip oleh Dhakidae, menceritakan bahwa masyarakat sekitar sering menyebut gedung Vrijmetselaarsloge sebagai 'gedung setan'.Penyebutan ini bukan tanpa alasan. Sebab, warga setempat sering melihat praktik ritual yang dilakukan anggota Freemasonry dengan membakar lilin dan mengenakan pakaian yang aneh.
-
Siapa yang membangun gedung tua di Semarang? Mengutip YouTube Tri Anaera Vloger, bangunan itu dibangun pada tahun 1911 oleh perusahaan penimbun kayu jati Belanda, de Javasche Bosch Exploitatie Maatschappij.
-
Siapa yang membangun bangunan misterius? Struktur ini dibangun pada dekade terakhir abad ke-18 oleh Robert Haldane di awal usia 20-an setelah mewarisi dua kekayaan dari paman dan ayahnya.
Sejarah Gedung Setan Surabaya
Saat pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, sang pemimpin kekurangan uang untuk menjalankan roda pemerintahan. Guna mengurangi defisit anggaran, Daendels menjual tanah-tanah kepada siapapun yang mau membelinya.
J.A. van Middelkoop tertarik membeli tanah di kawasan Kupang, saat itu masuk kawasan di tepi luar Kota Surabaya. Ia membeli tanah tersebut seharga 4.000 rijksdaalders yang saat itu masih berupa tanah pertanian cukup luas dan dibelah sebuah sungai kecil.
Mengutip Liputan6.com, pada awal abad ke-19, J.A. van Middelkoop membangun rumah sangat besar bergaya Eropa yang saat itu sedang populer. Rumah tersebut didirikan tepat di tepi sungai kecil dan ada jembatan.
Jalan utama yang di seberang rumah kemudian menjadi jalan besar dan diberi nama Reiniersz Boulevard. Rumah itu tampak megah dan menjadi indah karena kanan kirinya masih berupa perkampungan dan areal pertanian.
Sayangnya, rumah megah itu tidak pernah dihuni pemiliknya karena yang bersangkutan menjabat sebagai Gezaghebber (letnan gubernur) dan diharuskan menempati rumah dinas yang berada di kawasan Simpang.
Middelkoop menjabat sebagai Gezaghebber hanya beberapa tahun. Pada tahun 1810 ia diangkat menjadi gubernur Maluku dan meninggal di sana pada 1822. Rumah Middelkoop pun terlantar dan kosong selama bertahun-tahun.
Penghuni Tak Betah
Bertahun-tahun kosong, akhirnya rumah itu diminati oleh seorang dokter Tionghoa yang bernama Teng Sioe Hie. Saat menghuni rumah mewah itu, kabarnya Teng Sioe Hie selalu medapat gangguan hantu berwujud perempuan Eropa.
Pada malam-malam tertentu, biasanya hantu datang untuk mengganggu penghuni rumah. Setelah dihantui, dokter Teng mendapat kabar bahwa perempuan yang berubah jadi hantu adalah pembantu rumah tangga Middelkoop yang bunuh diri. Akibat kejadian tersebut, rumah mewah tersebut tidak pernah ditempati lagi oleh sang dokter. Rumah ini pun kembali dibiarkan kosong dan tidak terawat.
Kondisi Terkini
Pada tahun 1948, saat terjadi pemberontakan PKI dan pembantaian besar-besaran di Madiun. Dokter Teng Sioe Hie memutuskan rumah yang sudah tidak ia singgahi itu dijadikan tempat penampungan sementara para keturunan Tionghoa.
Sejak saat itu, puluhan keluarga tinggal di Gedung Setan. Jumlah penghuninya bertambah saat gelombang migrasi kedua terjadi di tahun 1965. Saat itu, sentimen anti Tionghoa mengakibatkan banyak warga keturunan Tionghoa mengungsi ke bangunan ini.
Hingga akhir 1965, satu ruangan di Gedung Setan harus menampung hingga 20 orang pengungsi. Jumlahnya menyusut seiring waktu.
Mengutip laman lapispahlawan.co.id, hingga kini masih ada keluarga pengungsi yang tinggal di Gedung Setan. Generasi keempat keturunan Tionghoa pengungsi ini berjumlah sekitar 40-50 Kepala Keluarga (KK) dan tinggal secara komunal di gedung tersebut.