Pengaturan Penjualan Disebut Bisa Jadi Cara Tekan Resistensi Mikroba Akibat Konsumsi Antibiotik
Permasalahan resistensi mikroba akibat konsumsi antibiotik diperkirakan bisa diatasi dengan pengaturan penjualan.
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat, terutama tanpa resep dokter, telah menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya kasus resistensi antimikroba (AMR). Resistensi antimikroba merupakan kondisi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, atau parasit menjadi kebal atau resisten terhadap pengobatan antimikroba yang seharusnya efektif. Fenomena ini menjadi ancaman serius bagi kesehatan global, mengingat dampaknya yang signifikan terhadap efektivitas pengobatan penyakit infeksius.
Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, dalam peluncuran Strategi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (Stranas AMR) 2025-2029 di Jakarta pada 19 Agustus 2024, menegaskan pentingnya upaya sistematis untuk mengendalikan AMR.
-
Bagaimana cara mengurangi resistensi antibiotik? Terapkan kebiasaan higienis seperti mencuci tangan secara teratur dan lakukan vaksinasi untuk mengurangi risiko infeksi yang bisa membutuhkan antibiotik.
-
Kenapa bakteri dapat mengembangkan resistensi terhadap antibiotik? Blaskovich menjelaskan bahwa proses evolusi ini terjadi karena adanya 'tekanan seleksi' — yaitu, ketika bakteri menghadapi antibiotik yang mematikan mereka, hanya bakteri yang dapat bermutasi untuk bertahan yang akan bertahan hidup dan berkembang biak.
-
Apa yang terjadi ketika bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik? Ketika bakteri menjadi kebal terhadap antibiotik, tubuh tidak dapat lagi melawan infeksi dengan cara yang sama. Ini menyebabkan bakteri berkembang biak, menyebar, dan berpotensi menjadi lebih berbahaya.
-
Siapa yang menjelaskan tentang resistensi antibiotik? Menurut dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH, Juru Bicara Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), salah satu penyebab kondisi ini adalah penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan petunjuk.
-
Bagaimana antibiotik melawan infeksi bakteri? Obat ini berfungsi dengan dua cara: menghentikan pertumbuhan bakteri atau langsung membunuh bakteri tersebut.
-
Kapan resistensi antibiotik bisa terjadi? 'Pada dasarnya, resistensi antibiotik bisa terjadi dengan sangat cepat, bahkan dalam hitungan beberapa hari,' kata Mark Blaskovich, seorang ahli kimia medis dan salah satu pendiri Centre for Superbug Solutions di University of Queensland, Australia dilansir dari Live Science.
“Hari ini kita meluncurkan Strategi Nasional (Stranas) Pengendalian Resistensi Antimikroba 2025-2029. Stranas ini memiliki tiga landasan utama, yang pertama adalah tata kelola yang efektif, informasi strategis melalui survei dan riset, serta sistem evaluasi eksternal,” ujar Dante.
Ia juga menyoroti bahwa konsumsi antibiotik yang tidak sesuai dengan resep dokter merupakan salah satu faktor pemicu utama resistensi antimikroba.
Mendukung inisiatif ini, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Profesor Tjandra Yoga Aditama, menekankan perlunya regulasi yang lebih ketat terkait penjualan antibiotik.
“Aturan soal penjualan obat antibiotik adalah sebuah keharusan. Jika aturan ini ditambah dengan promosi yang baik, maka akan semakin lengkap,” ujarnya. Menurut Tjandra, pengetahuan mengenai AMR belum merata di masyarakat, sehingga perlu ada upaya lebih untuk meningkatkan kesadaran publik mengenai bahaya resistensi antimikroba.
Salah satu langkah yang diusulkan Tjandra adalah menggandeng figur publik untuk menjadi duta kampanye AMR. “Sebagaimana kita ketahui sekarang kan eranya Raffi Ahmad, Ayu Ting-Ting, jadi kalau bisa tunjuk satu duta AMR, siapa kek (figur publik) dan ini diseriuskan. Saya kira ini akan berperan besar,” kata Tjandra. Menurutnya, promosi yang melibatkan tokoh terkenal akan lebih efektif dalam menyampaikan pesan penting ini kepada masyarakat luas.
Kepedulian terhadap AMR perlu ditingkatkan, tidak hanya di kalangan masyarakat umum, tetapi juga di antara apoteker yang bertanggung jawab dalam penjualan obat. Tjandra menyoroti masih adanya praktik penjualan antibiotik tanpa resep di apotek, yang berpotensi memperparah masalah AMR.
“Saya sempat mencoba membeli obat oplosan di apotek. Tanpa banyak bertanya, petugas apotek dengan mudahnya menjual obat kepada saya sebagai pembeli. Padahal, beberapa obat seharusnya hanya bisa dijual jika ada resep dokter,” ujarnya.
Senada dengan Tjandra, Dante juga mengungkapkan bahwa resistensi antimikroba banyak terjadi lantaran antibiotik dapat diperoleh dengan mudah, bahkan tanpa resep dokter.
“Sekarang ternyata 70 persen antibiotik itu bisa didapatkan tanpa resep. Jadi orang beli di apotek terus dikasih sama apotekernya, disimpan di rumah tanpa penggunaan yang tepat,” jelas Dante. Ia menambahkan, masyarakat sering kali keliru menggunakan antibiotik, misalnya untuk mengobati penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik, seperti demam akibat infeksi virus.
Penyakit yang disebabkan oleh virus, kata Dante, tidak dapat diobati dengan antibiotik. Jika kebiasaan penggunaan antibiotik yang tidak tepat ini dibiarkan, maka resistensi antimikroba akan terus meningkat, dengan potensi dampak yang mengerikan. “Kalau kita diamkan, maka nanti 2050 angka kematiannya di seluruh dunia jadi 10 juta orang. Makanya kita harus bergerak supaya penggunaan antibiotik ini lebih rasional,” kata Dante.
Dengan pengaturan penjualan antibiotik yang lebih ketat dan promosi penggunaan yang bijak, diharapkan dapat menekan tingkat resistensi antimikroba dan mengurangi beban pembiayaan kesehatan.
“Bayangkan 30 persen bisa dihemat. Kita sudah punya dua project rumah sakit yang melakukan penggunaan antibiotik secara rasional dan kita evaluasi, ternyata benar angka budget-nya turun 30 persen,” tambah Dante. Upaya ini menjadi langkah penting dalam menjaga kesehatan masyarakat dan memastikan efektivitas pengobatan di masa depan.