Ilmuwan 'Ciptakan' Seekor Tikus Menggunakan Genetik Purba Berusia Ratusan Juta Tahun, Begini Caranya
Ini merupakan temuan yang belum pernah terjadi sebelumnya, namun para peneliti mengambil langkah lebih jauh, menggunakan gen untuk memprogram ulang sel tikus.
Ilmuwan 'menciptakan' seekor tikus menggunakan alat genetika purba yang lebih tua dari kehidupan hewan pengerat ini. Para ilmuwan mengambil gen dari makhluk hidup bersel tunggal dan memasukkannya ke dalam sel tikus, yang menghasilkan sel induk. Sel induk ini kemudian disuntikkan ke dalam embrio yang sedang berkembang, membantu menghasilkan tikus yang hidup dan bernapas.
Ratusan juta tahun yang lalu, sebelum organisme multiseluler berevolusi, organisme sederhana bersel tunggal tersebar di planet Bumi. Beberapa di antaranya, yang disebut choanoflagellata, dianggap sebagai kerabat terdekat hewan yang masih hidup.
-
Apa yang dipelajari dalam ilmu biologi? Biologi adalah studi tentang organisme hidup dan bagaimana mereka menjalani proses kehidupan.
-
Apa yang ditemukan oleh para ilmuwan? Ilmuwan menemukan dua spesies dinosaurus baru, yang hidup 66 juta tahun lalu.
-
Di mana ilmu biologi diajarkan? Biologi adalah salah satu ilmu pengetahuan yang selalu diberikan di bangku sekolah. Mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama, hingga perguruan tinggi.
-
Apa yang diamati oleh para ilmuwan? Para ilmuwan berhasil menyaksikan dua pasang lubang hitam supermasif yang hampir bertabrakan. Dua fenomena alam itu terletak jutaan hingga miliaran tahun cahaya dari Bumi.
Penelitian baru menemukan, genom mereka mengandung versi gen Sox dan POU – yang diketahui mendorong pembentukan sel induk pada mamalia, dan hingga saat ini dianggap eksklusif untuk hewan, karena tidak ada pada kerabat kita yang bersel tunggal, seperti dikutip dari IFL Science, Rabu (20/11).
“Dengan berhasil menciptakan tikus menggunakan alat molekuler yang berasal dari kerabat bersel tunggal kita, kita menyaksikan kesinambungan fungsi yang luar biasa selama hampir satu miliar tahun evolusi,” kata penulis studi, Dr Alex de Mendoza dalam sebuah pernyataan.
“Studi ini menyiratkan bahwa gen-gen kunci yang terlibat dalam pembentukan sel induk mungkin sudah ada jauh lebih awal daripada sel induk itu sendiri, mungkin membantu membuka jalan bagi kehidupan multiseluler yang kita lihat sekarang.”
Pengobatan Regeneratif
Tim tersebut memperkenalkan gen Choanoflagellate Sox ke dalam sel tikus, menggantikan gen Sox2 yang ada – dan, dengan melakukan hal tersebut, memicu sel tersebut menjadi sel induk berpotensi majemuk terinduksi (iPSCs). Sel-sel ini berpotensi berkembang menjadi jenis sel apa pun di dalam tubuh.
Ketika mereka menyuntikkan iPSC ke dalam embrio tikus yang sedang berkembang, mereka menghasilkan apa yang dikenal sebagai chimera – hewan yang tubuhnya terdiri dari sel-sel yang secara genetik berbeda satu sama lain, dan mengandung dua set DNA berbeda. Dalam kasus ini, tikus tersebut menunjukkan ciri-ciri dari embrio donor dan iPSC, dengan bercak bulu hitam dan mata gelap, yang menegaskan bahwa gen purba telah memengaruhi perkembangan hewan tersebut.
- Ilmuwan Berhasil Ungkap 13 DNA Manusia Purba yang Hidup 10.000 Tahun Lalu, Keturunannya Masih Hidup Sampai Sekarang
- Ilmuwan Temukan 1.700 Spesies Baru Virus Purba Berusia 41.000 Tahun, Berpotensi Menginfeksi Manusia dan Menyebar ke Seluruh Dunia
- Ilmuwan Pertama Kali Temukan Fosil Kromosom Purba, Masih Utuh dan Tersusun Rapi dalam Kulit Mamut Berbulu Berusia 52.000 Tahun
- Cara Seorang Anak dapat Mewarisi Sifat dari Orang Tuanya, Simak Lebih Lanjut
“Choanoflagellata tidak memiliki sel induk, mereka adalah organisme bersel tunggal, namun mereka memiliki gen-gen ini, yang kemungkinan besar mengontrol proses seluler dasar yang kemudian digunakan oleh hewan multiseluler untuk membangun tubuh yang kompleks,” jelas Dr de Mendoza.
Penemuan ini dinilai dapat memberikan informasi tentang kemajuan pengobatan regeneratif di masa depan, di mana sel induk berperan penting.
“Mempelajari akar kuno dari alat genetik ini memungkinkan kita berinovasi dengan pandangan yang lebih jelas tentang bagaimana mekanisme pluripotensi dapat diubah atau dioptimalkan,” tambah rekan penulis Dr Ralf Jauch.
Studi ini dipublikasikan jurnal Nature Communications.