Ilmuwan Heran, Kicauan Burung Beo Amazon Berubah Setelah 20 Tahun Diteliti, Ternyata Ini Penyebabnya
Peneliti menemukan kicauan burung beo Amazon sudah tidak terdengar seperti dulu lagi.
Kicauan burung beo di Amazon tidak lagi terdengar seperti dulu saat mereka memanggil pasangannya di antara pepohonan.
Ilmuwan dari Universitas New Mexico dan Universitas Pittsbugh (UPJ) di Johnstown, Amerika Serikat menemukan perubahan pada kicauan burung ini selama beberapa dekade terakhir. Dalam studinya, mereka menemukan perubahan pada ‘aksen’ atau kemampuan mengeluarkan suara pada burung ini.
-
Kenapa burung di Amazon menyusut? Hal ini disebabkan oleh kondisi cuaca di wilayah tersebut yang semakin kering dan panas.
-
Suara apa yang dimiliki burung beo electus? Burung Beo Eclectus berasal dari pulau-pulau di Asia Tenggara dan Oseania, seperti Kepulauan Maluku, Australia Timur Laut, Papua Nugini, Sumba, dan Kepulauan Solomon. Mereka sering dipelihara sebagai hewan kesayangan karena kicauan mereka yang bisa mencapai 115 desibel.
-
Mengapa burung kakatua bisa sangat bising? Kakatua, atau Cockatiel, adalah burung sosial yang populer sebagai hewan peliharaan karena kemampuan vokalnya yang tinggi. Mereka bisa sangat bising saat gelisah atau bosan dan dapat belajar bersiul, melakukan trik, dan bahkan berbicara.
-
Apa yang bisa dipahami peneliti dari suara ayam? Para peneliti mengklaim dengan menggunakan teknologi ini untuk menganalisis vokalisasi ayam. Mereka dapat menguraikan enam keadaan emosi yang berbeda termasuk rasa lapar, takut, marah, rasa puas, gembira, dan kesusahan dengan akurasi 80 persen.
-
Apa yang dilakukan AI pada kicauan burung? Mereka membuat template suara berdasarkan rekaman yang ada dan menggunakan algoritma untuk memisahkan suara burung dari kebisingan. Selanjutnya, langkah yang harus diambil adalah menyempurnakan ketepatan algoritma untuk menemukan burung antwren Alagoas dan melatihnya untuk mencari merpati darat bersayap ungu secara bersamaan.
-
Mengapa kepunahan burung meningkat? Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Science ini menekankan peran penting manusia dalam krisis kepunahan burung, yang semakin memburuk dalam beberapa dekade terakhir.
Perubahan aksen ini dapat mengganggu proses perkawinan dan reproduksi pada burung yang banyak mendiami pantai Pasifik ini.
Burung beo tengkuk kuning Amazon, selayaknya spesies burung lainnya memiliki dialek daerah yang berbeda seperti ketika menjerit, bersiul, dan memekik bergantung pada tempat tinggal mereka.
Penelitian yang dimulai pada 1994 hingga kini telah memperhatikan adanya pergeseran geografis yang signifikan. Rupanya jenis panggilan yang dibuat burung beo di berbagai daerah saling meniru satu sama lain.
Seperti beberapa panggilan yang baru-baru ini terdengar di wilayah utara, sebelumnya hanya terdengar di wilayah selatan. Bahkan, beberapa burung di wilayah utara mampu menghasilkan kedua aksen tersebut. Para peneliti menyebut kemampuan ini sebagai keterampilan ‘bilingual’.
Akses mencari makan dan bertengger
Selayaknya manusia yang memiliki kesempatan hidup lebih besar ketika menguasai kemampuan bilingual. Hal ini ternyata berlaku pula pada burung beo Amazon. Kemampuan bilingual memungkinkan burung beo mendapat keuntungan dalam bertahan hidup.
Burung yang dapat berkomunikasi dengan lebih banyak kelompok memungkinkan lebih banyak akses area mencari makan atau memperoleh hak bertengger.
Dilansir Sciencealert, dalam tiga generasi terakhir, burung beo tengkuk kuning telah kehilangan lebih dari 92 persen populasinya di Amerika Tengah dan Selatan, sebagian besar disebabkan oleh hilangnya habitat, perburuan liar, dan perdagangan satwa ilegal.
Dialek vokal pada burung dapat mengungkapkan dari mana hewan berasal, dan penggunaannya dapat meningkatkan kohesi dan ikatan sosial.
"Perubahan budaya yang diamati mungkin merupakan respons adaptif terhadap perubahan ukuran kelompok dan pola pergaulan sosial," tulis para peneliti tersebut.
Ahli biologi dari UPJ mengingatkan peran penting yang dimainkan oleh dialek vokal dalam sistem sosial hewan dalam penelitian tentang evolusi budaya dalam menghadapi perubahan antropogenik.
Di Australia, misalnya, satu jenis burung penyanyi, atau disebut burung penghisap madu, sangat terancam punah sehingga tidak cukup banyak individu dalam populasinya yang dapat mengajarkan kicauannya kepada generasi berikutnya. Akibatnya, banyak burung liar yang menyanyikan lagu-lagu 'aneh', beberapa di antaranya bahkan tidak termasuk dalam spesiesnya.
Kemampuan beradaptasi
Burung beo tengkuk kuning masih bersuara seperti diri mereka sendiri, tetapi ditemukan pola akustik yang sedang berpindah akibat dari migrasi dari selatan ke utara.
Sejak 1990-an, burung Amazon berleher kuning menunjukkan tiga dialek vokal yang berbeda. Satu di utara, satu di selatan, dan satu di Nikaragua.
Sebuah survei pada 2005 menemukan integritas aksen ini tetap utuh selama lebih dari satu dekade.
Tetapi pada survei ketiga pada tahun 2016, populasi amazon tengkuk kuning di Kosta Rika telah anjlok lebih dari setengahnya, hal ini disebabkan oleh perburuan sarang, hilangnya habitat, dan fragmentasi.
Sementara para peneliti mengamati persistensi jangka panjang dialek utara dan selatan, tim peneliti lainnya juga mendokumentasikan empat varian panggilan baru, peningkatan besar dalam lokasi dan burung dwibahasa, serta pergeseran dalam jangkauan geografis tiga dialek tradisional.
Ditemukan munculnya varian akustik baru khususnya terlihat di bagian selatan. Jarak yang lebih jauh antara lokasi bertengger di wilayah ini dapat menghambat pergerakan dan mendorong pergeseran budaya, jelas para peneliti.
Di sisi lain, di wilayah utara, tempat-tempat bertengger lebih padat, burung beo mungkin telah belajar bersuara dari berbagai jenis burung tetangga, yang memungkinkan aksen menyebar dan menarik perhatian.
"Sebagian dari perubahan ini bisa jadi mengganggu, dengan potensi untuk semakin memperparah penurunan populasi. Namun, peningkatan situs bilingual juga bisa menjadi tanda kemampuan beradaptasi," ungkap para peneliti.
Pada akhirnya, para peneliti menyimpulkan pemantauan perilaku budaya, seperti tingkat perubahan dialek, dapat membantu pengelola satwa liar memahami dampak antropogenik, dinamika populasi, dan melestarikan spesies.
Studi ini dipublikasikan dalam Proceedings of the Royal Society B.
Reporter Magang: Elma Pinkan Yulianti