Kisah Makam Sunan Gunung Jati yang Hampir Dibom Belanda, Dipicu Perlawanan Rakyat
Merdeka.com - Cirebon menjadi salah satu wilayah yang tak luput dari incaran Belanda di masa penjajahan. Berlokasi di wilayah pantai utara Jawa Barat, daerah yang kini mendapat julukan sebagai Kota Udang ini dikenal memiliki daya pikat lewat bisnis industri dan perdagangan.
Cara Belanda mempertahankan daerah Cirebon pun terkadang dilakukan dengan nekat. Salah satunya dengan berencana membumihanguskan kompleks makam Sunan Gunung Jati pada tahun 1818. Padahal kompleks makam ini begitu dihormati oleh masyarakat setempat.
Rencana Belanda menghancurkan makam Sunan Gunung Jati ini disebabkan perlawanan yang terus dilakukan rakyat Cirebon dengan memanfaatkan kunang-kunang untuk mengecoh pergerakan. Seperti apa kisahnya? Berikut informasi selengkapnya.
-
Mengapa Belanda ingin menguasai Cirebon? Ragamnya bahan dapur dari Cirebon ini menjadikan Belanda semakin berhasrat untuk menguasai wilayah ini.
-
Kenapa Belanda membangun benteng di Gunung Palasari? Tidak diketahui secara persis mengapa Belanda membangun benteng di sana. Namun menurut penuturan warga setempat, bangunan ini salah satunya digunakan untuk memantau wilayah kota sebagai bentuk antisipasi perlawanan.
-
Kenapa Belanda membumihanguskan Purwokerto? Mengetahui pertahanan di Bobotsari telah dikuasai Belanda, Panglima Gatot Subroto memerintahkan pelaksanaan taktik bumi hangus. Gedung-gedung dan bangunan penting di Kota Purwokerto seperti stasiun, pabrik gula, serta instalasi militer dibakar habis.
-
Mengapa Belanda membangun pertahanan di Banten? Meriam tersebut turut menggambarkan adanya jejak pertahanan militer di wilayah perairan laut Jawa, di mana ketika itu Daendels membangun antisipasi militer di selat Sunda untuk menghalau pasukan Inggris.
-
Bagaimana Sunan Gunung Jati mendirikan Kerajaan Banten? Setelah wilayah Banten dan sebagian Jawa Barat berhasil dikuasai Demak, Sultan Trenggono lantas menjadikan Syarif Hidayatullah untuk mendirikan kerajaan bercorak Islam di tanah Banten pada 1527.
-
Kenapa Makam Belanda di Majalengka kumuh? Makam-makam ini terlihat tak terawat karena di sekelilingnya ditumbuhi bermacam semak belukar. Belum lagi pepohonan yang dibiarkan tumbuh tanpa ditebang, membuat pulasara bangsa Eropa itu makin terlihat kumuh.
Bermula dari Pemberontakan Rakyat Cirebon
Makam Sunan Gunung Jati
©2015 Merdeka.com
Penghujung tahun 1818 menjadi salah satu momen bersejarah di Residen Cirebon. Saat itu masyarakat setempat sudah mulai memberontak atas kebijakan Belanda yang sewenang-wenang.
Pemberontakan besar yang terjadi sepanjang tahun 1802 hingga 1818 didasari karena Pangeran dari Keraton dan kaum Ulama di Cirebon menghendaki Belanda agar tak memasuki wilayahnya.
Berdasarkan catatan sejarah, terdapat dua kali pemberontakan besar yakni di tahun 1802-1812 yang dipimpin oleh Bagus Rangin dan periode tahun 1816-1818 M yang dipimpin oleh Bagus Jabin dan Bagus Serit.
"Para pejuang di peristiwa pemberontakan rakyat Cirebon melakukan penyerangan dengan menggunakan strategi gerilya yang berbeda-beda. Hal itu membuat pihak kolonial tidak mudah membaca pergerakan. Salah satu yang memancing kekesalan Belanda adalah strategi kunang kunang untuk mengecoh Belanda" tulis Budayawan Cirebon, Opan Safari dalam catatan pemberontakan rakyat Cirebon (2015), melansir laman historyofcirebon.
Belanda Kehilangan Uang 150.000 Gulden
Akibat dari dua pemberontakan besar tersebut, pasukan Belanda mengalami kerugian hingga 150.000 Gulden.
Saat itu Nicholaus Engelhard, seorang Gubernur Pantai Timur Laut Jawa yang ditugasi untuk mengatasi permasalahan tersebut merasa kewalahan. Ia kemudian melapor ke rekannya yakni Simton Hendrik Rose dan Letnan Kolonel Gauf sebagai komandan ekspedisi di wilayah Utara Priangan.
Keduanya kemudian melakukan serangan yang lebih masif, dengan mengerahkan senjata hingga pasukan khusus untuk memukul mundur sekitar 40.000 pasukan pribumi Cirebon.
Puncaknya adalah ketika Belanda terpaksa kehilangan seluruh pabrik gulanya di wilayah Cirebon, usai dibakar dan dibabat seluruh kebun tebunya.
Strategi Gerilya Kunang Kunang
Menurut Opan, strategi suluhan menjadi salah satu taktik rakyat dan santri Cirebon yang ditakuti Belanda. Pasalnya, dalam strategi itu mereka memanfaatkan ratusan kunang-kunang di tengah malam untuk mengecoh pasukan Belanda.
Saat itu mereka juga melakukan grilya di hutan hutan, sehingga pergerakannya sulit dibaca dan Belanda memilih jalur perundingan demi menekan kekalahan.
Sebelumnya para sultan dan bupati yang daerahnya terletak di kawasan pemberontakan diperintahkan untuk mengirimkan pasukan, demi menghentikan pemberontakan.
Pasukan dari Sumedang dan Cirebon yang ditugaskan untuk mengepung daerah perlawanan dari arah Timur dan Selatan akhirnya membangun markas di Darmawangi dan Tomo serta menjaga daerah sepanjang Sungai Cimanuk.
Selain itu, pasukan dari Subang dan Karawang ditugaskan untuk mengepung dari arah barat dan utara sehingga Belanda tak bisa bergerak.
Pemimpin Pemimpin Cirebon Ditangkap
Simton Hendrik Rose dan Letnan Kolonel Gauf kemudian ditarik mundur oleh Nicholaus Engelhard dan meminta menghentikan peperangan melalui perundingan.
Dari sana, ditetapkan sebuah kebijakan bahwa Pemerintah Belanda akan memperbaiki keadaan rakyat dan orang China tidak akan diperbolehkan lagi tinggal di pedalaman Cirebon. Selain itu para pemimpin pemberontak harus menyerahkan diri sebelum tanggal 17 Agustus 1806.
Namun, salah satu pemimpin perang rakyat Cirebon, Bagus Rangin menolak menyerahkan diri dan memilih kabur untuk menyiapkan penyerangan lain. Saat itu dirinya kembali menyiapkan pasukan untuk melaksanakan perang terbuka.
Beberapa tahun setelahnya terjadi perang terbuka, termasuk penyerangan gerilya yang terjadi secara tiba-tiba hingga puncaknya terjadi pada 16-29 Februari 1812 lewat meletusnya perang Bantar Jati. Perang tersebut akhirnya dimenangkan Belanda, usai Bagus Rangin tertangkap dan dijatuhi hukuman mati pada 27 Juni 1812.
Rencana Pengeboman Makam Sunan Gunung Jati Untuk Redam Amarah Warga
Sempat berhenti selama empat tahun, pada 1816 sampai 1818 pemberontakan kembali terjadi dan dipimpin oleh Bagus Jabin dan Bagus Serit. Peperangan itu terus meluas hingga masuk ke wilayah Majalengka.
Sebelumnya, Bagus Jabin dan para pasukannya berhasil menjebol penjara Palimanan dan membebaskan rekan-rekan mereka hingga membakar jembatan-jembatan di kawasan tersebut. Keadaan yang semakin tak terkendali membuat pihak Belanda kian kewalahan.
Mereka mengutus sejumlah residen, bupati, hingga tokoh agama setempat untuk mencari jalan damai. Namun sejumlah bupati serta residen justru mati terbunuh. Para pemimpin pemberontakan pun akhirnya dihukum mati, dan memicu pemberontakan lain hingga Belanda mengeluarkan ancaman akan mengebom makam Sunan Gunung Jati sebagai strategi penghentian perang.
Berdasarkan catatan Rahayu, 2016:172, upaya tersebut merupakan strategi Belanda dalam menakut-nakuti warga serta pasukan pejuang rakyat Cirebon dalam menghentikan pemberontakan yang terus berlanjut di akhir 1818. (mdk/nrd)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Pemberontakan yang ia pimpin menjadi pemberontakan besar terhadap Belanda yang pertama di Pulau Jawa.
Baca SelengkapnyaPemberontakan ini sebagai bentuk reaksi rakyat terhadap sistem tanam paksa oleh Belanda.
Baca SelengkapnyaMakam di Wlingi Kabupaten Blitar ini dulunya adalah kompleks makam mewah. Kini lokasinya dijadikan areal persawahan.
Baca SelengkapnyaPerang Batak, perjuangan mempertahankan tanah leluhur dari pasukan Belanda.
Baca SelengkapnyaSisingamangaraja XII juga dikenal sebagai Raja Tuan Marhajan Siregar, adalah seorang pahlawan dari Tanah Batak.
Baca SelengkapnyaKyai Makmur ditembak Belanda karena tidak mau diajak bekerja sama.
Baca SelengkapnyaMenurut orang-orang tua yang menjadi saksi peristiwa itu, bom tepat jatuh di atas kubah masjid namun tidak hancur.
Baca SelengkapnyaSaat masa penjajahan Belanda, lokasi kampung itu digunakan sebagai tempat para tentara Belanda melakukan kekerasan terhadap warga pribumi.
Baca SelengkapnyaPria panglima perang ini dianggap penjajah Belanda sangat berbahaya dan kuat dibandingkan dengan pemimpinnya sendiri.
Baca SelengkapnyaSamin Surosentiko dikenal sebagai penentang keras kolonialisme.
Baca SelengkapnyaDari bangunan megah berbentuk kerajaan Belanda ini dapat dilihat perubahan pemerintahan Banten dari kesultanan menjadi karesidenan.
Baca SelengkapnyaPerlawanan yang dilakukan kaum PKI terhadap pemerintah Hindia Belanda ini pecah di Minangkabau atau tepatnya di daerah Silungkang dekat tambang Sawahlunto.
Baca Selengkapnya