Mengenang Perang Batak, Perjuangan Mempertahankan Wilayah Leluhur dari Gempuran Kolonial Belanda
Perang Batak, perjuangan mempertahankan tanah leluhur dari pasukan Belanda.
Dalam mempertahankan tanah kelahiran dan tradisi adat, masyarakat Batak berperang melawan Belanda dalam peristiwa Perang Batak.
Mengenang Perang Batak, Perjuangan Mempertahankan Wilayah Leluhur dari Gempuran Kolonial Belanda
Keberadaan kolonial Belanda di Nusantara tak lekang dari perang serta konflik dengan masyarakat adat. Kedatangan mereka tak hanya menguasai wilayah, melainkan juga menyebarkan paham-paham baru salah satunya agama.
Narasi tersebut tak jauh berbeda ketika kedatangan Belanda ke Tanah Batak. Setelah Perang Padri berlangsung, mereka menyebarkan kekuasaan dengan basis kewilayahan hingga ke Sumatra Utara. Penyebaran kekuasaan inilah yang ditakutkan oleh masyarakat Batak saat itu.
Dianggap sebagai ancaman, masyarakat Batak yang berniat mempertahankan tanahnya itu menyebabkan terjadi peperangan yang disebut Perang Batak.
-
Siapa pahlawan nasional dari Sumatera Barat yang melawan Belanda? Sosok Ilyas Ya'kub mungkin masih belum begitu familiar di kalangan masyarakat Indonesia. Ia merupakan seorang pahlawan nasional Indonesia dari Sumatera Barat yang punya jasa besar dalam melawan Belanda.
-
Mengapa Suku Basemah melawan penjajah Belanda? Selain itu, Suku Basemah dan sekitarnya juga sempat melawan penjajah Belanda yang berlangsung selama puluhan tahun.
-
Kapan Suku Basemah melawan penjajah Belanda? Hal ini menjadi perlawanan terpanjang dalam sejarah perjuangan di Sumatera Selatan pada abad ke-19.
-
Apa peninggalan Belanda di Tapanuli Selatan? Salah satu jejak peninggalan kolonial Belanda ada di Tapanuli Selatan berupa kolam renang.
-
Bagaimana Belanda mengontrol masyarakat Minangkabau? Tanpa diketahui pasti dampak dari pembentukan jabatan oleh pemerintah kolonial, tetapi Tuanku Lareh ini dibentuk untuk mengontrol masyarakat Minangkabau.
-
Mengapa Pangeran Diponegoro melawan Belanda? Perang Diponegoro (1825-1830) adalah konflik antara Pangeran Diponegoro dengan Belanda yang dipicu oleh pemasangan patok-patok di lahan milik Diponegoro dan eksploitasi terhadap rakyat dengan pajak tinggi.
Pemicu Peperangan
Perang Batak mulai berlangsung dari tahun 1878 hingga 1907 atau selama 29 tahun lamanya. Semua berawal dari perubahan pandangan Belanda dalam melakukan penjajahan di bumi Nusantara yang disebut Pax Netherlandica.
Sistem baru ini mengubah cara Belanda dalam menguasai daerah dengan menerapkan kolonialisme dan imperialisme dengan melakukan politik ekspansi. Pax Netherlandica ini dilakukan dalam penguasaan di tanah Batak.
Selain menguasai wilayah, Belanda pun juga membawa pengaruh budaya baru, yaitu penyebaran agama kristen yang tergabung dalam gerakan Rijnsche Zending dan tokoh penyebarannya yaitu Nommensen.
Masyarakat Batak yang takut tanah dan adat leluhurnya ini hilang, mereka pun berusaha melawan sekaligus mempertahankan tanah kelahirannya dari orang-orang Belanda tersebut.
Sejak kedatangan misionaris ke tanah Batak yang ditolak oleh Sisingamangaraja XII membuat mereka tidak terima atas perlakuan tersebut. Sampai pada akhirnya para misionaris bergabung dengan pemerintah Belanda dan memulai melakukan perlawanan.
Peran Sisingamangaraja XII
Mengutip dari merdeka.com, dalam mengantisipasi menyebarnya kekuasaan dan paham yang dilakukan Belanda, perang pun pecah ketika Raja Sisingamangaraja XII melakukan kampanye kepada masyarakat setempat.
Ketika Belanda tiba di wilayah Silindung, rakyat setempat sudah mulai melakukan perlawanan dan pengusiran terhadap militer Belanda. Kondisi tersebut memicu pihak Belanda marah dan akhirnya mereka mengirim pasukan per 8 Januari 1878.
Lagi-lagi kecerdikan Belanda dalam mengirim pasukannya ke wilayah tersebut yang ternyata hanyalah alibi belaka. Maksud mereka tetap satu: menguasai wilayah kekuasaan Raja Sisingamangaraja XII.
Pukul Mundur
Tahun 1894, Belanda melakukan ekspansi serangan untuk menguasai wilayah Bakarra yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Batak. Sisingamangaraja XII bersama pasukannya itu mundur dan berpindah ke Parlilitan.
Tahun 1904, pasukan di bawah pimpinan Mayor van Daalen dari Aceh Tengah, terus melanjutkan pergerakan ke Tapanuli Utara. Pada tahun 1907, pasukan Belanda berhasil menangkap Boru Sagala, istri Sisingamangaraja XII beserta dua anaknya.
Keberadaan Sisingamangaraja XII pun berhasil tidak diketahui Belanda setelah kabur ke Hutan Simsim dan ia menolak bernegosiasi dan menyerah dengan keadaan tersebut.
Sampai akhirnya pada sebuah pertempuran di tahun 1907, Sisingamangaraja XII gugur bersama putrinya dan dua orang putranya yang menjadi akhir dari Perang Batak.