Fotografer Perempuan Pertama di Hindia Belanda Ini Konon Jadi Pencetus Istilah 'Swiss Van Java' Garut, Ini Sosoknya
Sosok ini disebut-sebut mempopulerkan istilah Swiss Van Java di Garut. Siapakah dia?
Sosok ini disebut-sebut mempopulerkan istilah Swiss Van Java di Garut. Siapakah dia?
Fotografer Perempuan Pertama di Hindia Belanda Ini Konon Jadi Pencetus Istilah 'Swiss Van Java Garut', Ini Sosoknya
Selama ini kata Swiss Van Java melekat dengan Kabupaten Garut. Istilah ini muncul untuk menggambarkan betapa indahnya daerah tersebut karena dikelilingi sawah dan pegunungan.
Diperkirakan klaim ini populer sejak awal abad ke-20 silam di kalangan warga Eropa dan Belanda.
Terlebih saat itu pemerintah kolonial menggencarkan promosi melalui gambar di surat kabar untuk menarik kunjungan wisata internasional.
-
Dimana Swiss van Java berada? Jalur itu menghubungkan antara pusat Kota Wonosobo dengan Dataran Tinggi Dieng, tepatnya menuju Desa Sembungan yang merupakan desa tertinggi di tanah Jawa.
-
Apa yang membuat Swiss van Java unik? Dinamakan Swiss van Java, karena pemandangan di jalur tersebut mirip di Eropa, tepatnya di negeri Swiss.
-
Siapa wartawan perempuan pertama di Indonesia? Rohana Kudus adalah sosok pahlawan nasional yang dikenal sebagai wartawan perempuan pertama di Indonesia.
-
Siapa saja yang melewati Swiss van Java? Dalam perjalanan menyusuri rute itu, pengendara akan disuguhkan pemandangan gunung yang menjulang di ujung jalan. Perjalanan melewati ladang sayur milik petani dan beberapa perkampungan. Sepanjang perjalanan, sering dijumpai para petani membawa hasil alam. Ada juga pengunjung lain yang berhenti sejenak untuk berfoto dengan latar belakang pemandangan alam yang indah.
-
Siapa yang memberi julukan Venetie van Java? Venetie van Java yang dicetuskan oleh Belanda karena melihat keadaan geografis Kota Semarang dilalui banyak sungai seperti di Kota Venice Italia.
-
Kapan foto pertama kali muncul? Saat ini jika hendak difoto, banyak orang sudah mulai menunjukkan ekspresinya melalui senyuman bahkan tak malu-malu bergaya di depan kamera. Namun lain hal dengan zaman dahulu. Saat di mana teknologi kamera pertama kali muncul dan foto pertama diambil pada akhir 1820-an.
Keindahan Garut nyatanya mampu memancing rasa penasaran bintang komedi kenamaan pada saat itu, Charlie Chaplin.
Chaplin disebut pernah berlibur di Garut dan menginap di Hotel Grand Ngamplang yang berada di dataran tinggi Cilawu.
Dari cerita turun temurun yang beredar, kedatangan Chaplin rupanya ingin mengobati rasa penasaran karena saat itu Garut disebut mirip kediamannya di negara Switzerland.
Di balik ini terdapat sosok fotografer perempuan pertama yang konon mempopulerkan istilah Garut sebagai Swiss Van Java. Siapakah dia? Yuk simak selengkapnya.
Fotografer Perempuan yang Populerkan Istilah Swiss Van Java
Mengutip laman Asia Pacific Photography, fotografer perempuan pertama itu bernama Thilly Weissenborn. Ia dilahirkan di Kediri, Jawa Timur pada 22 Maret 1883.
Awalnya dia ditugaskan sebagai fotografer di studio milik Ornes Kurtdjian yang berasal dari Armenia di Kota Surabaya pada 1913. Disebutkan bahwa studio tersebut menjadi satu-satunya agen Kodak yang ada di Hindia Belanda kala itu.
Empat tahun kemudian, Weissenborn dipindahtugaskan ke wilayah Preanger (Priangan) dan ditempatkan di Garut. Di sana, dia menjadi kontributor untuk mempromosikan pariwisata di wilayah Priangan termasuk Garut.
Karya-karyanya banyak dimuat, dan konon dari sanalah dia mempopulerkan istilah “Swiss Van Java” karena keindahan alam di Garut yang membentang luas.
“Weissenborn mulai menandai karyanya dengan kualitas liris yang istimewa. Pemandangan markasnya di Garut semuanya menampilkan udara sejuk berkabut dari perbukitan yang tenang tempat orang Belanda yang berpakaian berlebihan dan sopan melarikan diri dari pantai yang gerah.
Lebih banyak hati tertuju pada pemandangan panjang perbukitan dan pemandangan kehidupan desa pegunungan sebagai pedesaan yang indah,” seperti tertulis di laman Asia Pacific Photography
Karyanya Diberi Judul “Come To Java”
Karya-karya Weissenborn tak berhenti di pemandangan dan suasana pedesaan semata. Ia juga memotret aktivitas kehidupan masyarakat Belanda yang ramah dan hangat kepada anak-anaknya di pedesaan Garut.
Para perempuan di Garut saat sedang bekerja diawasi mandor. Tropen Museum
Ia juga mencoba memotret tokoh-tokoh pribumi di latar depan atau tengah pemandangan yang terbentang. Mengajaknya berpose di taman-taman bikinan Belanda yang nyaman dan berlatar gunung berapi menjulang. Keindahan ini kemudian disukai biro pariwisata Belanda dan diberi judul “Come To Java”.
Pada 1917 setelah beberapa waktu bekerja di sana, Weissenborn mendirikan sendiri studionya yang diberi nama LUX. Setudio ini awalnya bagian dari apotek yang tiga tahun setelahnya LUX dipindahkan.
Mengangkat Kebudayaan Lokal
Di sisi lain, perempuan yang hangat dan periang ini juga mengangkat hal-hal yang bisa dikatakan cukup menantang. Weissenborn mulai bermain dengan teknis fotografi yang lebih baik, dan mengambil angle masyarakat dan budaya lokal.
Dia memotret aktivitas-aktivitas yang dilakukan masyarakat pedesaan pada saat itu, salah satunya bermain sabung ayam.
Di sana, Weissenborn meminta para pemain untuk bersiap sebelum kamera memotret. Setelah Weissenborn berkata, para pemain itu melepaskan ayam-ayam mereka untuk diadu. Kala itu banyak warga yang menyaksikan aktivitas tersebut.
Populerkan Bali
Dalam lama The University of Melbourne, disebutkan bahwa dia juga menjelajah ke Bali untuk mempromosikan pariwisata di sana. Kala itu Weissenborn banyak memotret momen-momen dan objek-objek penting.
Salah satu yang menjadi daya tarik adalah ketika ia mendokumentasikan tentang kearifan lokal warga Bali yang masih kental dengan kebudayaan nenek moyang setempat.
Beberapa objek yang dipotretnya adalah pemandangan alam Bali, ornamen gerbang kerajaan, pura tempat ibadah umat Hindu dan motif ukiran yang menyatu dengan tempat pemandian suci.
Payung, aktivitas berdoa dari warga Bali, pendeta Hindu yang memimpi upacara dan lain-lain menjadi daya tarik pariwisata yang menarik kala itu. Indonesia menjadi daerah dengan kebudayaan yang jauh dari mondernisme yang dianggap menghancurkan.