Tinggalkan Hidup Enak di Istana, Ini Sosok Mbah Demang Keturunan Raja Bangkalan yang Memilih Jadi Warga Biasa
Dalam pengasingannya, ia berusaha menyembuyikan jati dirinya sebagai bangsawan.
Dalam pengasingannya, ia berusaha menyembunyikan jati dirinya sebagai bangsawan.
Tinggalkan Hidup Enak di Istana, Ini Sosok Mbah Demang Keturunan Raja Bangkalan yang Memilih Jadi Warga Biasa
Sebelum menjadi kabupaten, Bangkalan dulunya berbentuk kerajaan yang dipimpin seorang sultan. Kehidupan bangsawan kerajaan tentu saja jauh lebih enak dibanding kaum pribumi biasa saat itu. Meski demikian, kehidupan nyaman tak menjamin seluruh anggota kerajaan betah tinggal di dalamnya.
-
Kenapa Mbah Sakinem meninggalkan desa? Mbah Sakinem bercerita, dulu ia dan keluarganya pergi meninggalkan desa dengan berjalan kaki saat hari masih malam.
-
Apa peran Warok Singobowo di Kerajaan Demak? Esksistensi kesenian Reog Ponorogo tak bisa dilepaskan dari sosok Singowo, salah satu prajurit Kerajaan Demak sekaligus pengawal Raden Bathoro Katong yang menjadi guru bagi para warok.
-
Siapa yang tinggal di Desa Budaya Pampang? Desa ini menjadi tempat tinggal tetap masyarakat Suku Dayak Apokayan.
-
Mengapa warga Demak mengungsi? Tercatat puluhan ribu warga harus mengungsi akibat banjir itu. Mereka harus menyelamatkan diri ke tempat yang lebih aman karena rumah-rumah mereka terendam air.
-
Kenapa Bapak Amin memilih hidup di pelosok desa? Setelah lepas jabatan, rupanya Bapak Amin tidak ingin lagi terjun ke dunia politik. Ia pun lebih memilih hidup bahagia dengan keluarga dan membangun rumah megah di pelosok desa.
-
Siapa cicit Mbah Kholil Bangkalan? Profil Ra Lilur merupakan putra dari Kiai Ahmad Tamyiz dan Nyai Romlah. Ibunya merupakan cucu Mbah Kholil Bin Abdul Lathif Bangkalan.
Tinggalkan Kemewahan
Pangeran Cokrokusumo, putra ke-25 Sultan Bangkalan II meninggalkan kehidupan serba enak di kerajaan. Ia memilih hidup sangat sederhana berbaur dengan masyarakat biasa.
Alasan Tinggalkan Istana
Pada zaman itu sering terjadi pertikaian dan peperangan antar kelompok atau kerajaan akibat taktik adu domba yang dilakukan pemerintah Belanda.
Mengutip situs rodovid.org, Pangeran Cokrokusumo beranggapan bahwa memenuhi permintaan Pemerintah Hindia Belanda sama dengan menciptakan penderitaan bagi sanak keluarganya.
Di sisi lain, Pangeran Cokrokusumo sadar cepat atau lambat ia akan menerima giliran memimpin barisan Madura untuk melawan sesama bangsa pribumi.
Menolak tugas sama saja melawan pemerintah Hindia Belanda. Hal itu tentu saja akan berakibat buruk baginya.
Atas dasar itulah, akhirnya Pangeran Cokrokusumo memutuskan meninggalkan Bangkalan membawa istri, anak-anak dan kerabat dekatnya.
Selain menghindari tugas dari Pemerintah Hindia Belanda, Pangeran Cokrokusumo juga bercita-cita agar kelak, anak-anak dan keturunannya hidup damai dan sejahtera.
Perjalanan
Pada tahun 1845, rombongan Pangeran Cokrokusumo berangkat dari istana Kesultanan Bangkalan dengan menyeberangi selat Madura dan mendarat di pantai Gresik.
Selanjutnya, mereka melanjutkan perjalanan menuju sebuah perguruan (pesantren) Dosermo melalui Surabaya dan Wonokromo.
Sembunyikan Identitas
Selama perjalanan, rombongan Pangeran Cokrokusumo berusaha menyembunyikan jati diri sebagai bangsawan. Mereka mengubah nama dan identitas lainnya. Pangeran Cokrokusumo mengubah namanya menjadi Kyai Mendhung.
Pangeran CokrokusumoMakam
Mengutip situs p2k.stekom.ac.id, Pangeran Cokrokusumo atau Mbah Mendhung meninggal pada tahun 1843. Jasadnya dimakamkan di Dusun Kaliboto, Desa Jatialun-alun, Kecamatan Prambon, Kabupaten Sidoarjo.
Masyarakat setempat menyebut makam tersebut dengan sebutan makam Mbah Demang. Hingga kini, makam tersebut dikeramatkan dan dirawat oleh penduduk desa karena sosok Mbah Demang dianggap sesepuh desa.