Mencicipi Aia Niro, Minuman Khas Solok yang Wajib Dicoba
Olahan gula aren yang berasal dari hutan bukan kayu yang dimanfaatkan oleh petani di Solok, Sumatra Barat.
Olahan gula aren yang berasal dari hutan bukan kayu yang dimanfaatkan oleh petani di Solok, Sumatra Barat.
Mencicipi Aia Niro, Minuman Khas Solok yang Wajib Dicoba
Indonesia dikenal begitu kaya akan hasil alamnya yang begitu beragam. Masyarakat di berbagai daerah telah lama memanfaatkan hasil alam di sekitar mereka untuk dijadikan bahan makanan hingga alat-alat untuk membantu kehidupan sehari-hari mereka.
Masyarakat Solok, Sumatra Barat juga memanfaatkan salah satu tumbuhan yang menghasilkan air aren atau disebut Aia Niro. Cairan manis ini diambil ketika kolang-kaling atau buah tap masih berbentuk putik.
-
Apa saja kuliner khas Solo yang patut dicoba? Surakarta atau Solo terkenal sebagai pusat batik dan kuliner murah meriah. Nah, kuliner apa saja yang patut dicoba saat berkunjung ke kota ini?
-
Bagaimana cara mengenal kuliner khas Solo? Anda juga bisa mencicipi kuliner khas setempat tiap berkunjung ke suatu kota atau daerah. Kali ini, Merdeka.com akan mengajak Anda berkenalan dengan aneka kuliner Solo.
-
Apa keistimewaan beras Solok? Mungkin tidak banyak orang tahu kalau Kota Solok merupakan salah satu wilayah yang memiliki beras berkualitas unggul dibandingkan dengan jenis-jenis beras lainnya. Beras ini dikenal dengan nama barah Solok atau bareh Solok yang bisa dijumpai di warung-warung makan.
-
Makanan khas apa yang terkenal di Nias? Selain kaya akan keindahan alam dan lautnya, Pulau Nias juga memiliki makanan tradisional yang cukup terkenal, yaitu Lehedalo Nifange.
-
Apa sebutan lain untuk angkringan di Solo? Dibanding nama “angkringan“, warga Solo lebih mengenalnya dengan nama “hik“. Sebutan “hik“ muncul akibat dari teriakan yang dilakukan penjual ketika menjajakan dagangannya.
-
Kenapa angkringan di Solo populer? Keberadaan warung angkringan juga menjamur di Kota Solo. Dilansir dari Narasisejarah, keberadaan angkringan di Kota Solo muncul beriringan dengan hadirnya listrik.
Kemudian, pelapahnya dipukul-pukul atau dimemarkan selama beberapa hari hingga keluar cairan. Apabila sudah keluar, lalu digantung menggunakan bambu atau penampung agar air yang menetes bisa terkumpul.
Cairan Aia Niro ini berwarna bening, mirip kelapa. Rasanya segar dan begitu nikmat. Cairan manis yang diperoleh itu bernama Niro, warnanya sedikit keruh. Nah, Niro ini tidak akan bertahan lama, maka petani setempat langsung mengambilnya dan diolah.
Dari Hasil Hutan Bukan Kayu
Mengutip dari situs walhisumbar.org, Aia Niro ini merupakan salah satu dari sekian banyak Hasil Hutan Bukan Kayu (HHKB). Cairan ini kemudian banyak dimanfaatkan oleh para petani dan juga masyarakat setempat.
Biasanya, masyarakat akan memanfaatkan Aia Niro ini menjadi gula aren. Prosesnya pun masih menggunakan cara-cara tradisional.
Pengolahan Gula Aren
Sebelum menjadi gula aren, proses pertama yang harus dilakukan yaitu mengumpulkan seluruh Aia Niro lalu disaring agar lebih bersih. Kemudian, setelah bersih baru dibawa ke tempat memasak.
Aia Niro yang sudah disaring kemudian dimasak dan jangan lupa untuk sesekali diaduk agar tidak gosong ketika mendidih. Aia Niro yang sudah dipanaskan akan mengeluarkan buih.
Buih-buih tadi tentu akan meluap dari panci. Agar tidak meluap berlebihan, tambahkan 2 butir kemiri yang sudah dihaluskan lalu ditabur di pinggir wajan. Jangan lupa untuk membuang buih yang sudah berlebihan.
Setelah direbus, cairan gula tadi akan berubah warna menjadi kecokelatan. Cairan yang sudah menjadi kecokelatan tadi akan berubah teksturnya menjadi kental dan mengeluarkan letupan.
Dicetak Satu per Satu
Apabila sudah direbus dalam beberapa waktu, untuk mengecek apakah gula aren sudah siap dicetak atau belum, hanya menambahkan gula aren tadi ke dalam air dingin. Apabila membeku, sudah siap cetak. Jika belum sempurna, akan menyebabkan tumbuhnya jamur.
Ketika sudah siap dicetak, kemudian dituangkan ke dalam cetakan dari bambu atau batok kelapa lalu dinginkan selama satu malam penuh. Setelah itu, baru bisa dibungkus.
Biasanya, masyarakat setempat akan membungkusnya dengan daun pisang, upih pinang, daun jati, atau berbagai macam media alami lainnya.