Derita Warga Palestina di Gaza Hidup di Tengah Genosida Israel
Keluarga Zahra berjuang untuk bertahan hidup di Gaza yang dilanda perang.
Selama 14 bulan terakhir, keluarga Zahra telah berpindah-pindah mencari tempat aman di Jabalia dan Beit Lahia, Gaza Utara. Pada bulan Desember, keluarga yang terdiri dari tujuh orang ini akhirnya tiba di Gaza City.
“Perang ini sangat keras sejak hari pertama, tetapi sekarang rasanya seperti neraka,” ujar Zahra, yang meminta agar nama lengkapnya tidak dipublikasikan, dalam percakapan telepon dengan DW dari Gaza City.
Keluarganya kini berlindung di sebuah rumah yang sebagian hancur di kamp pengungsi Shati.
“Kami tidak tahu apakah kami akan selamat atau binasa sebelum semua ini berakhir,” lanjutnya.
Keputusan untuk Tetap di Utara Gaza
Meskipun ada perintah berulang dari Angkatan Pertahanan Israel (IDF) agar warga sipil pindah ke bagian selatan Gaza, keluarga Zahra memilih untuk tetap di utara. Keputusan ini diambil sebagian karena takut tidak bisa kembali ke rumah mereka.
“Kami tidak meninggalkan utara lebih awal karena kami tahu pengeboman terjadi di mana-mana dan berharap operasi militer di utara segera berakhir. Namun, kenyataannya menjadi semakin tidak tertahankan,” jelas Zahra.
Rumah mereka di kamp Jabalia telah hancur total beberapa bulan lalu, dan sekarang mereka hidup dalam keadaan terus-menerus berpindah. Meskipun organisasi internasional mendesak Israel dan Hamas untuk mencapai gencatan senjata, konflik tidak menunjukkan tanda-tanda mereda.
Kondisi Kemanusiaan di Gaza
Cuaca dingin dan hujan di seluruh wilayah Gaza menyebabkan tenda dan tempat tinggal darurat tergenang air. Organisasi kemanusiaan telah berulang kali memperingatkan bahwa bantuan yang diterima tidak memadai, sebagian karena blokade Israel dan juga pencurian bantuan. “Di sini tidak ada makanan, tidak ada air, tidak ada sanitasi, tidak ada apa-apa,” kata Jonathan Whittall, kepala sementara Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB di Yerusalem Timur.
Whittall juga menyampaikan bahwa PBB telah mengajukan 140 permohonan koordinasi kepada IDF untuk mengunjungi area tersebut dalam dua bulan terakhir, tetapi semua permohonan tersebut ditolak. Meskipun begitu, pihak Israel membantah bahwa mereka menghalangi bantuan kemanusiaan.
Korban Jiwa dan Serangan Terus Berlanjut
Lebih dari 45.800 warga Palestina telah tewas sejak Israel melancarkan ofensif besar-besaran setelah serangan teroris yang dipimpin Hamas pada 7 Oktober 2023. Jabalia dan daerah di utara Gaza City menjadi fokus serangan IDF yang diperbarui. IDF mengklaim bahwa Hamas dan kelompok militan lainnya sedang mengumpulkan kekuatan di area tersebut, dan perintah evakuasi untuk warga sipil dimaksudkan untuk melindungi mereka.
Namun, banyak warga Palestina dan organisasi kemanusiaan menyatakan bahwa tidak ada tempat yang aman di Gaza, dan perpindahan yang konstan hanya memperburuk situasi. “Kami tidak tahu nasib kami,” kata Zahra, menggambarkan ketidakpastian yang mereka hadapi.
Kondisi Hidup yang Makin Sulit
Di utara Gaza, diperkirakan antara 10.000 hingga 15.000 orang masih bertahan di daerah yang dikepung, termasuk Beit Lahia, Jabalia, dan Beit Hanoun. Namun, jumlah yang tepat tidak diketahui karena banyak area yang telah dibersihkan dari penduduk dan diratakan. Hal ini memicu spekulasi bahwa Israel berencana menjadikan daerah tersebut sebagai zona penyangga tertutup setelah perang berakhir.
Warga melaporkan bahwa sudah terjadi kekurangan ekstrem akan makanan dan air, sementara penembakan yang terus menerus membuat pergerakan menjadi hampir tidak mungkin, termasuk akses ke koridor kemanusiaan untuk menuju selatan.
Perjuangan untuk Bertahan Hidup
Matar Zomlot dan keluarganya tetap tinggal di kamp pengungsi Jabalia sepanjang perang tetapi akhirnya terpaksa pergi. “Ada penembakan dan ledakan sepanjang waktu, dan rasa takut yang konstan,” ungkap Zomlot. Keluarganya bertahan hidup dengan mencari makanan di rumah-rumah yang ditinggalkan. “Saya biasa mendapatkan makanan dari rumah-rumah sekitar setelah berbicara dengan pemiliknya, yang memberi tahu saya bahwa mereka meninggalkan makanan atau barang kalengan,” tambahnya.
Pada bulan Desember, keluarga Zomlot memutuskan untuk pergi ke Gaza City meskipun ada pertempuran yang sengit. “Kami takut akan ditembak,” kenangnya. Setelah melewati pemeriksaan ID, mereka akhirnya diizinkan untuk melanjutkan perjalanan.
Ketidakpastian Masa Depan di Gaza
Kini, Zomlot tinggal di Gaza City bersama sanak saudaranya. Alih-alih bergerak lebih jauh ke selatan, keluarga ini memilih untuk tetap di utara Gaza. Wilayah tersebut kini dibagi oleh koridor Netzarim, sebuah jalan dengan pos pemeriksaan militer yang membentang dari timur ke barat. Setelah warga Palestina melewati bagian selatan, mereka tidak dapat kembali ke utara.
Menurut PBB, sekitar 90% dari 2,1 juta penduduk Gaza telah terpaksa mengungsi, banyak di antaranya beberapa kali, dan salah satu ketidakpastian adalah apakah mereka akan diizinkan untuk kembali ke rumah. “Kami berdoa kepada Tuhan agar perang ini segera berakhir, dan kami bisa kembali ke lingkungan dan rumah kami, meskipun mungkin hanya menjadi puing-puing,” tutup Zahra.