Mengenal Pangrukti Loyo, Tata Cara Pengurusan Jenazah Bagi Penghayat Kepercayaan
Pangrukti Loyo merupakan sebuah bentuk layanan organisasi MLKI kepada para warga penghayat kepercayaan
Pangrukti Loyo merupakan sebuah bentuk layanan organisasi MLKI kepada para warga penghayat kepercayaan
Mengenal Pangrukti Loyo, Tata Cara Pengurusan Jenazah Bagi Penghayat Kepercayaan
Setiap kepercayaan punya tata cara dan panduan masing-masing dalam mengurus jenazah. Begitu pula dengan para warga penghayat kepercayaan.
Tata cara mengurus jenazah untuk penghayat kepercayaan disebut juga Pangrukti Loyo. Mereka punya pedoman tersendiri dalam melakukan prosesi tersebut.
Sebagai contoh di kalangan penghayat Sapta Darma di mana pangrukti loyo sudah tercantum dalam buku pedoman tersendiri.
-
Apa tugas utama dari Panglima Laot? Dilansir dari Antara, Panglima Laot ini juga bertugas untuk mengatur dan menjaga ketertiban dalam menangkap ikan serta kehidupan masyarakat pesisir. Artinya, Panglima Laot diibaratkan tokoh yang menegakkan hukum adat laut.
-
Di mana Panglima Laot memiliki pengaruh? Sampai saat ini, Panglima Laot Aceh sudah dibagi ke dalam tiga tingkatan wilayah, mulai dari Panglima Laot Lhok, Panglima Laot Kabupaten, dan Panglima Laot Aceh. Panglima Laot Lhok (kuala atau tempat kapal boat bersandar) ini sudah ada 175 anggota yang tersebar di 18 Kabupaten/Kota Aceh.
-
Kapan Lom Plai dirayakan? Pesta adat ini dilaksanakan setiap tahun selama sepekan. Biasanya dilaksanakan di bulan Mei.
-
Bagaimana cara Panglima Laot menjaga ketertiban di laut? Kemudian, Panglima Laot berhak menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara nelayan di laut agar tidak terjadi konflik berkepanjangan. Artinya, mereka berperan sebagai penengah dan juga pengadil.
-
Siapa yang menjaga Lodji Papak Geyer? Berbeda dengan Lodji Papak Juwangi, Lodji Papak Geyer terlihat jauh lebih menyeramkan walau di siang hari sekalipun.Pak Sopiran mengakui, gedung itu memang angker dan dihuni banyak makhluk tak kasat mata.
-
Kapan Panglima Laot menjadi warisan budaya tak benda? Warisan Budaya Tak Benda Pada 2018 lalu, lembaga yang memimpin adat istiadat, kebisaaan-kebisaaan yang berlaku di bidang penangkapan ikan ini ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda.
Dalam kepercayaan Sapta Darma, tata cara Pangrukti Loyo terbagi ke dalam beberapa langkah. Langkah awal adalah saat jenazah hendak dan dipastikan meninggal.
Saat dipastikan meninggal ia harus dipejamkan matanya, ditutup mulutnya, diangkat ke tempat lain, lalu ditutup kain batik.
Tahap kedua adalah memandikan jenazah. Sebelum memandikan jenazah ada fasilitas yang harus disiapkan di antaranya tiga rantang baskom yang sudah ditaburi bunga telon, sabun sampo, handuk, kapas, dan kain jarik, serta drum yang diisi air secukupnya.
Tahap ketiga yaitu memberinya busana. Untuk busana, diperlukan kain putih 12 meter yang nantinya dipotong untuk membalut tubuh jenazah dan melapisi peti. Cara memotong kain putih serta penerapannya pada jenazah ada tata caranya sendiri.
Tahap keempat adalah sujud pengutaban atau sujud pemantapan. Dalam melakukan sujud ini, warga penghayat melafadzkan doa-doa yang telah ditentukan di dalam pedoman.
Tahap kelima adalah upacara pemberangkatan. Upacara ini dipandu oleh seorang petugas pranata acara. Dalam upacara ini pula anak cucu diminta untuk melakukan brobosan tiga kali, yaitu berjalan melewati bawah peti yang di dalamnya sudah tersimpan jenazah.
Tahap keenam adalah upacara pemakaman. Dalam prosesi ini, peti jenazah diturunkan ke dalam liang lahat. Selain dikubur, jenazah juga bisa dikremasi dengan diberangkatkan menuju krematorium. Setelah proses kremasi selesai, abu dapat disemayamkan di rumah duka atau dilarung ke laut.
Setelah semua langkah itu selesai, ada tahap ketujuh yaitu hari peringatan bagi almarhum. Hari peringatan berlangsung mulai dari tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, setahun, dua tahun, dan terakhir 1.000 hari.
Selain Sapta Darma, tak banyak kelompok penghayat kepercayaan lain yang belum memiliki tata cara itu. Mereka masih menggunakan tata cara yang digunakan masyarakat umum atau tuntunan sesuai ajaran agama ahli waris.
Maka dari itulah Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menginisiasi pembuatan pedoman umum Pramukti Loyo untuk penghayat kepercayaan secara umum.
Para perwakilan kelompok penghayat kepercayaan di DIY berkumpul di Sanggar Candi Sapta, Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta pada tanggal 14-15 Juni 2024.
Dalam acara itu, mereka berkumpul untuk membahas berbagai persoalan, salah satu hal yang dibahas adalah soal Pangrukti Loyo.
Ketua MLKI DIY Bambang Purnomo mengatakan, MLKI selaku organisasi yang menaungi kelompok penghayat kepercayaan pada dasarnya belum punya panduan bersama dalam melakukan prosesi Pangrukti Loyo.
Menurutnya hal ini bakal menimbulkan keraguan para penghayat sendiri atau orang-orang yang ingin menjadi seorang penghayat kepercayaan.
“Dengan adanya Pangrukti Loyo, kita sebagai organisasi penghayat sudah total dalam memberikan pelayanan pada anggota kita,” ujar Bambang.
Penolakan Warga Terhadap Pemakaman Penghayat
Pada suatu hari, Bambang pernah bertemu seseorang yang ingin masuk penghayat kepercayaan namun ia masih ragu terhadap keputusannya.
Salah satu keraguan itu ialah saat ia mati bagaimana proses pemakamanya. Apalagi di beberapa tempat pernah ada kasus di mana jenazah penghayat kepercayaan ditolak oleh warga setempat dimakamkan di pemakaman umum.
Pada Desember 2014, jenazah Daodah, seorang penghayat kepercayaan Sapta Darma asal Brebes, Jawa Tengah, ditolak oleh perangkat desa setempat untuk dimakamkan di pemakaman umum.
Karena larangan itu, jenazah Daodah terpaksa dimakamkan di pekarangan lahan miliknya sendiri.
Penolakan pemakaman penghayat juga pernah terjadi di Desa Mayong Lor, Jepara, Jawa Tengah pada tahun 2018. Saat itu seorang warga penghayat Sapta Darma ditolak oleh warga setempat untuk dimakamkan di pemakaman umum di desa mereka.
Padahal rumah penghayat itu dengan makam hanya berjarak kurang lebih lima meter. Akhirnya pemakaman dilakukan di makam lain yang lokasinya lebih jauh dari rumah penghayat itu.
Tak cukup sampai di situ, setelah pemakaman selesai muncul gejolak yang mewacanakan penggalian makam tersebut. Kepala desa setempat untungnya langsung mengambil sikap melakukan musyawarah desa. Dalam musyawarah itu disepakati bersama bahwa makam itu tidak boleh digali agar konflik tidak berkepanjangan.
Karena kasus ini pula pemerintah desa menyediakan lahan baru untuk pemakaman umum lintas agama dan penghayat.
Saat ditemui Merdeka.com pada sela-sela acara pertemuan di Sanggar Candi Sapta Rengga, Bambang tak ingin acara penolakan-penolakan seperti itu terjadi lagi. Oleh karena itu berbagai bentuk antisipasi harus dilakukan.
“Kami antisipasi saja kalau hal-hal tersebut terjadi. Nanti kita akan sosialisasikan pada seluruh penghayat. Apalagi sekarang di daerah-daerah sering memasuki ajaran radikal,” kata Bambang.
Bambang mengatakan, hubungan penghayat dengan lingkungan sosialnya berbeda-beda. Ada yang dekat dengan lingkungannya tapi ada pula yang tidak dekat. Biasanya yang hubungannya cukup renggang dengan lingkungan itu rawan mendapat penolakan.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, dalam acara pertemuan tersebut juga hadir Retno Handayani dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Unit Pelayanan Teknis (UPT) Taman Pemakaman Umum (TPU) Sleman. Di Provinsi DIY, hanya Kabupaten Sleman yang memiliki unit pelayanan yang bergerak di bidang pemakaman umum.
Retno mengatakan, Pemerintah Kabupaten Sleman memiliki sebuah lahan pemakaman yang berada di Kapanewon Seyegan, Sleman. Sejatinya kompleks pemakaman itu disediakan bagi warga yang kesulitan menemukan lahan makam, terutama bagi warga yang tinggal di kompleks perumahan. Namun ia berjanji akan memberikan kemudahan pula bagi warga penghayat kepercayaan jika ia kesulitan mendapat lahan makam di daerahnya.
“Nanti kalau ada hal seperti itu tinggal hubungi saya,” kata Retno.
Peneliti dari Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Samsul Maarif menjelaskan bahwa Pangrukti Loyo merupakan praktik inti dalam siklus hidup komunitas penghayat.
Menurutnya, praktik Pangrukti Loyo penting dimiliki setiap komunitas penghayat karena merupakan warisan leluhur yang perlu dilestarikan agar tidak punah.
Peneliti yang sering memberikan pendampingan kepada kelompok penghayat itu melihat selama ini praktik Pangrukti Loyo masih dilakukan sendiri-sendiri oleh kelompok penghayat secara tidak nyaman. Oleh karena itu perumusan tata cara Pangrukti Loyo secara kelembagaan perlu dilakukan agar mereka lebih nyaman melakukan tradisi tersebut.
“Karena tidak ada organisasi, mereka dihadapkan pada situasi bisa atau tidak untuk melakukan Pangruti Loyo. Kehadiran organisasi (MLKI) ini untuk memastikan agar warga bisa lebih nyaman karena ada yang memfasilitasinya,” kata Samsul.
Dalam acara itu hadir pula Sumari dari Direktorat Kepercayaan Tuhan yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (Dit KMA), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).
Kepada Merdeka.com, Sumari mengapresiasi kegiatan yang diadakan MLKI tersebut. Menurutnya pembentukan Pangruti Loyo penting dilakukan karena sebagai bagian dari peningkatan kapasitas organisasi.
Terkait dengan proses pemakaman terhadap penghayat, Sumari mengatakan bahwa hal tersebut tidak masalah karena sudah ada peraturannya dalam undang-undang.
“Jadi secara hukum nggak masalah. Tergantung warganya sendiri. Negara sudah memfasilitasi tinggal eksistensi mereka di tengah masyarakat, sesuai dengan ajaran mereka yaitu Memayu Hayuning Bawana,” kata Sumari.