Ilmuwan Temukan Tengkorak Kelelawar Berusia 50 Juta Tahun, Fosil Tertua dalam Kondisi Masih Utuh
Temuan fosil ini dapat membantu menyelesaikan perdebatan lama terkait ekolokasi berevolusi kelelawar.
Ilmuwan Temukan Tengkorak Kelelawar Berusia 50 Juta Tahun, Fosil Tertua dalam Kondisi Masih Utuh
Fosil tengkorak kelelawar tiga dimensi berukuran kecil dengan kondisi sempurna ditemukan dalam gua batu kapur Vielase di Prancis. Para ahli mengatakan, temuan fosil ini dapat membantu menyelesaikan perdebatan lama terkait ekolokasi berevolusi kelelawar.
Sumber: Cosmos Magazine
Tengkorak berukuran 1,8 cm ini merupakan penemuan yang penting, berusia sekitar 50 juta tahun dengan bentuk tiga dimensi yang utuh. Fosil ini menjadi fosil tengkorak kelelawar tertua yang belum hancur menurut penelitian yang dipublikasikan jurnal Current Biology.
Foto: Suzanne Hand dkk
-
Fosil hewan purba apa yang ditemukan? Fosil tersebut diperkirakan sebagai spesies dari kelas cestoda, juga dikenal sebagai cacing pita.
-
Apa nama fosil kera yang ditemukan? Studi ini menyarankan kemungkinan nenek moyang manusia dan kera Afrika berevolusi di Eropa sebelum mereka bermigrasi ke benua Afrika antara sembilan hingga tujuh juta tahun lalu.
-
Kapan fosil kera ini ditemukan? Kesimpulan ini didasarkan pada analisis tengkorak parsial yang ditemukan di situs tersebut pada 2015.
-
Bagaimana fosil kera ini ditemukan? Fosil ini ditemukan di lokasi fosil Çorakyerler dekat Çankırı dan peneliti mendapat dukungan dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Turki.
-
Berapa usia fosil dinosaurus tersebut? Saat sedang jalan-jalan dengan anjingnya, seorang pria asal Prancis menemukan fosil dinosaurus berusia 70 juta tahun.
-
Dimana fosil kera ini ditemukan? Penemuan ini, yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Communications Biology pada 23 Agustus, memicu re-evaluasi konsep-konsep seputar evolusi manusia yang selama ini sudah mapan.
Tengkorak tersebut merupakan spesies kelelawar dari Eosen yang pada awalnya bernama Vielasia sigei, ditemukan bersama lebih dari 400 spesimen lainnya dari 23 individu. Kelelawar jenis ini juga merupakan kelelawar batang atau nenek moyang pertama yang dideskripsikan dari sebuah gua, bukan lingkungan lain.
“Keindahan dari pelestarian di dalam gua adalah bahwa fosil cenderung terawetkan secara tiga dimensi, tidak terjepit di antara lapisan batuan,” jelas penulis utama studi, professor emeritus Suzanne Hand dari Universitas New South Wales dan ahli paleontologi spesialisasi bidang evolusi kelelawar.
Mereka mengatakan temuan fosil ini membantu menjawab perdebatan panjang mengenai bagaimana ekolokasi berevolusi pada kelelawar, dengan dua hipotesis utama.
Sekitar 86 persen dari kelelawar modern menggunakan ekolokasi, yaitu kemampuan untuk menggunakan gelombang suara dalam navigasi, mencari makan, dan berburu.
Terdapat dua teori tentang asal usul kemampuan ekolokasi pada kelelawar. Teori pertama menyatakan, nenek moyang semua kelelawar modern awalnya mampu melakukan ekolokasi, tetapi kemudian kemampuan ini hilang pada rubah terbang dan kelelawar buah. Namun, ada juga pandangan lain yang menyatakan bahwa kemampuan ekolokasi muncul hanya pada kelelawar modern.
Sumber: Cosmos Magazine
Para peneliti menggunakan tengkorak yang terpelihara dengan baik dari kelelawar berusia 50 juta tahun untuk mengamati dan mengukur telinga bagian dalamnya. Hasil analisis dibandingkan dengan kelelawar modern, termasuk yang melakukan ekolokasi dan yang tidak. Dr. Hand menyatakan, hasil pengukuran dengan kuat menunjukkan bahwa Vielasia sigei memiliki kemampuan ekolokasi.
"Pengukuran kami menempatkan kelelawar tua ini tepat di tengah-tengah kelompok yang melakukan ekolokasi," ujarnya.
Dr. Hand menyatakan, meskipun belum ada kepastian 100 persen, "bukti yang ada cukup meyakinkan bahwa ini adalah kelelawar yang melakukan ekolokasi dengan cara yang mirip dengan banyak kelelawar modern saat ini."
Berdasarkan penelitian tengkorak dan temuan fosil lainnya, diperkirakan ukuran Vielasia sigei sekitar 18 gram, hampir sama dengan ukuran rata-rata kelelawar modern yang berukuran sekitar 13 atau 14 gram.
Menurut laporan, Vielasia sigei tampaknya mampu terbang dengan energi dan kelincahan, memakan serangga, dan melakukan ekolokasi dengan rentang frekuensi sekitar 30-56 kHz. Mereka hidup dalam koloni kecil di gua-gua dengan anak-anak yang semi-mandiri.
Dalam kondisi rumah kaca global pada awal periode Eosen, kelelawar muncul dengan cepat di banyak benua. Makalah ini mencatat bahwa kelelawar seperti Vielasia sigei kemungkinan pindah ke gua untuk mencari lingkungan dengan suhu yang lebih stabil.
Dr. Hand menyebutkan, ketika kelelawar ditemukan kembali dalam catatan fosil, sebagian besar dari mereka memiliki penampilan yang khas sebagai "kelelawar yang baik", mirip dengan penampilan kelelawar modern.
Dr. Hand berharap temuan tengkorak dan fosil tiga dimensi ini akan terus bermanfaat. Rekan-rekan penelitinya sudah melakukan penelitian lebih lanjut terhadap otak mamalia prasejarah ini.