Ilmuwan Dibikin Pusing Gara-Gara Fosil Cacing Laut Terperangkap dalam Pohon Selama 99 Juta Tahun, Bagaimana Bisa?
Fosil tersebut diperkirakan sebagai spesies dari kelas cestoda, juga dikenal sebagai cacing pita.
Fosil tersebut diperkirakan sebagai spesies dari kelas cestoda, juga dikenal sebagai cacing pita.
-
Kenapa fosil reptil laut ini membingungkan peneliti? Kebingungan ini terjadi karena fosil tersebut ditemukan dalam keadaan berantakan dengan kerangka yang tersebar di seluruh batuan tempat fosil tersebut diawetkan dan tidak tersusun dengan cara yang terorganisir secara anatomis.
-
Mengapa ilmuwan tertarik dengan fosil ini? “Dinosaurus hampir selalu berukuran lebih besar dari mamalia sezaman mereka, jadi kepercayaan tradisional adalah bahwa interaksi mereka bersifat sepihak - dinosaurus yang lebih besar selalu memakan mamalia yang lebih kecil.“ “Di sini, kita punya bukti yang bagurs untuk mamalia yang lebih kecil yang memangsa dinosaurus yang lebih besar, hal yang tidak pernah kita duga tanpa fosil ini.“
-
Bagaimana fosil hewan purba ditemukan? Fosil-fosil tersebut ditemukan sekitar 25 tahun yang lalu oleh ahli paleontologi Elizabeth Smith dan putrinya Clytie ketika mereka sedang memeriksa sisa-sisa tambang opal.
-
Siapa yang menemukan fosil hewan purba? Ekspedisi untuk mengumpulkan fosil-fosil ini dilakukan pada tahun 2011 dan 2014 oleh para ilmuwan dari Zoological Society of London (ZSL).
-
Di mana fosil hewan purba itu ditemukan? Sebuah penemuan baru dari nenek moyang plesiosaurus bernama Chusaurus xiangensis telah ditemukan di Fauna Nanzhang-Yuan'an di Provinsi Hubei, China.
-
Apa yang di temukan ahli paleontologi? Ahli paleontologi menemukan fosil bernama Lomankus edgecombei yang terawetkan dengan emas palsu, atau biasanya disebut pirit besi.
Ilmuwan Dibikin Pusing Gara-Gara Fosil Cacing Laut Terperangkap dalam Pohon Selama 99 Juta Tahun, Bagaimana Bisa?
Fosil cacing parasit laut, bagian dari cacing pita laut, ditemukan terperangkap di dalam getah pohon damar. Penemuan ini membuat para ilmuwan garuk kepala.
Dilansir dari IFL Science, fosil tersebut diperkirakan sebagai spesies dari kelas cestoda , juga dikenal sebagai cacing pita yang berasal dari 99 juta tahun yang lalu. Cacing pita ini terperangkap dalam batu amber Kachin pada periode pertengahan Kapur dan ditemukan di Myanmar. Cestoda adalah kelas yang tersebar luas bahkan dapat menginfeksi manusia dan ditemukan di hampir semua ekosistem, termasuk di lingkungan laut.
Ordo trypanorhyncha, sebuah ordo dalam kelas Cestoda yang terdiri dari cacing parasit laut, biasanya menginfeksi spesies hiu dan pari laut dengan wujud larva. Hampir semua trypanorhyncha yang hidup adalah endoparasit hiu dan pari. Namun karena siklus hidupnya yang kompleks yang melibatkan dua inang dan tubuh lunak, mereka hanya diketahui dalam catatan fosil dari telur yang ditemukan pada koprolit hiu.
“Catatan fosil cacing pita sangat jarang karena jaringan lunak dan habitat endoparasitnya, yang sangat menghambat pemahaman kita tentang evolusi awal mereka,” kata Wang Bo, peneliti utama studi tersebut dalam sebuah pernyataan.
Namun, ia menambahkan timnya telah "melaporkan fosil tubuh cacing pita yang pertama."
Batu amber menghasilkan pelestarian fosil yang luar biasa.
Berarti kemungkinan ini merupakan fosil tubuh cacing pipih yang paling meyakinkan yang pernah ditemukan.
Meski tidak lengkap & panjang, fosil ini memiliki ciri luar dalam yang luar biasa.
Di sepanjang tentakelnya, serta tubuhnya berongga & tidak berakar.
“Hal ini menjadikan penemuan ini sebagai fosil tubuh platyhelminth yang paling meyakinkan yang pernah ditemukan,” kata Luo Cihang, penulis pertama studi tersebut dan kandidat PhD dari NIGPAS.
Selain cacing pita laut, para peneliti juga menemukan trikoma pakis dan nimfa serangga yang terperangkap di dalam pohon damar, yang menunjukan bahwa parasit laut tersebut sedang berada di darat dan terperangkap di getah pohon saat mati.
Batu amber yang menutupi fosil tersebut juga mengandung butiran pasir, menunjukkan itu mungkin merupakan lingkungan pantai. Tim juga menulis, ujung fosil tersebut retak, menunjukkan bahwa fosil tersebut terkoyak.
Para penulis berpendapat, inang parasit tersebut adalah hiu atau pari yang terdampar di garis pantai berpasir setelah angin kencang atau gelombang pasang. Hiu tersebut kemudian dimangsa, dan parasit tersebut ditarik dari usus dan menempel pada resin di dekatnya. Mereka menekankan bahwa ini adalah gagasan spekulatif, namun menyoroti pentingnya amber dalam melestarikan fosil yang tidak terduga.
“Studi kami lebih lanjut mendukung hipotesis bahwa amber Kachin mungkin disimpan di lingkungan paleoen paralic, dan juga menyoroti pentingnya penelitian amber dalam paleoparasitologi,” selesai Wang.
Penelitian ini ditulis dalam sebuah makalah yang diterbitkan dalam jurnal Geology.