Kolone Macan, Kisah Pasukan Elite Pembunuh Berdarah Dingin di Tanah Rencong
Tentara Belanda membentuk sebuah pasukan elite. Dinamai Marsose, yang berasal dari kata marechaussee, pasukan polisi bersenjata di Eropa.
Penulis: Arsya Muhammad
Perang Aceh berkobar tahun 1873. Belanda mengirim ekspedisi militer untuk menguasai wilayah Kesultanan Aceh.
Perang di Tanah Rencong ini dikenal sebagai salah satu perang paling berdarah serta menguras energi dan biaya tentara Belanda.
Saat keraton Aceh direbut, bukan berarti perlawanan berhenti. Perang gerilya di seluruh wilayah Aceh berkobar.
Pasukan reguler Koninklijk Netherlands Indische Leger (KNIL) tak berdaya melawan pasukan Aceh yang menyerang secara tiba-tiba dan kemudian menghilang dengan cepat.
Sebagai solusi menghadapi para gerilyawan Aceh, tentara Belanda kemudian membentuk sebuah pasukan elite. Dinamai Marsose, yang berasal dari kata marechaussee, pasukan polisi bersenjata di Eropa.
-
Apa nama pasukan elite Kerajaan Pajajaran? Surawisesa memiliki pasukan elite dari Kerajaan Pakuan Pajajaran.Pasukan itu bernama Balamati.
-
Siapa pemimpin pasukan Malang yang melawan Mataram? Pasukan Bupati Ronggosukmo jumlahnya lebih sedikit dari pasukan Tumenggung Alap-alap, namun berhasil mempertahankan daerahnya dari serangan pasukan Kerajaan Mataram.
-
Apa peran Komando Divisi Banteng? Komando Divisi IX Banteng dibentuk untuk memerangi penjajah Belanda yang meliputi empat provinsi saat ini, yaitu Sumatera Barat, Riau, Jambi, dan Kepulauan Riau.
-
Siapa pemimpin Rampokan Macan di Blitar? Di Blitar, pagelaran ini dipimpin Patih Djojodigdo, pelaksana administratur tertinggi di bawah Bupati Raden Warso Koesomo yang bertugas pada tahun 1877-1895.
-
Kenapa operasi militer di Aceh dimulai? Operasi ini mulai dilakukan setelah ultimatum selama dua minggu agar GAM menerima otonomi khusus untuk Aceh di bawah NKRI.
-
Kapan operasi militer di Aceh dimulai? Operasi Militer Indonesia di Aceh atau disebut dengan Operasi Terpadu yang melibatkan pasukan Batalyon Infanteri 330 Tri Dharma ini berlangsung sejak 2001 hingga 2003 melawan pemberontak Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Keberadaan Marsose di Hindia Belanda lebih berkembang sebagai pasukan tempur handal daripada pasukan polisi bersenjata pendahulunya, marechaussee, di Eropa Barat,”
tulis sejarawan Petrik Matanasi dalam buku Pasukan Komando.
Marsose dipilih dari para prajurit yang jago bertempur. Mereka dilatih menggunakan kelewang untuk bertarung dari jarak dekat. Marsose juga mampu melakukan patroli jarak jauh dan tidak tergantung jalur pasukan logistik.
Walau begitu, Marsose ternyata tidak cukup. Tentara Belanda membentuk pasukan elite di dalam elite. Mereka memilih anggota marsose yang paling jago berkelahi, haus darah dan mau melakukan hal-hal yang tidak manusiawi dalam peperangan.
Pasukan itu dinamai Kolone Macan. Banyak anggota pasukan ini sebelumnya sudah pernah berperang di Aceh.
Kolone Macan dipimpin oleh seorang perwira asal Swiss, Hans Christoffel. Dalam ketentaraan Belanda, dia sangat populer karena pasukannya berhasil menewaskan Sisingamangaraja XII dan mengakhiri perlawanan di Sumatera Utara.
Pasukan Pembunuh Berdarah Dingin
Christoffel melatih pasukannya di Tangsi Cimahi. Ciri khas pasukan ini mengenakan pakaian berwarna hijau kelabu dengan lambang dua jari berdarah di kerah bahunya. Mereka juga mengenakan ikat leher warna merah.
Begitu selesai menjalani pendidikan, para prajurit ini dikirim kembali ke Aceh untuk bertempur. Cepat, beringas dan haus darah. Itu tiga kata yang menggambarkan aksi Kolone Macan di Aceh.
“Cara kerja pasukan ini lebih kejam dari pasukan sebelumnya. Mereka tidak segan melakukan eksekusi di tempat,” kata Petrik.
Tak heran dalam waktu singkat mereka mendapat julukan pasukan pembunuh berdarah dingin.
Cara-cara brutal dan kejam pasukan Kolone Macan ini sampai membuat muak pasukan Marsose biasa.
Walaupun Marsose dikenal kejam, tapi mereka pun tak tahan melihat kelakuan sejawatnya. Bisa dibayangkan betapa kejam Kolone Macan.
Salah satunya adalah seorang komandan Marsose bernama Schriwanek.
Dia merasa apa yang dilakukan Kolone Macan benar-benar keterlaluan. Saat melakukan pembersihan gerilyawan, semuanya dikerjakan hingga ‘tuntas’.
“Walau dia (Schriwanek), tergolong kasar, namun dia melihat cara kerja Kolone Macan itu benar-benar keterlaluan,” lanjut Petrik.
Tentara Belanda bereaksi atas kekejaman yang dilakukan Kolone Macan. Komando militer Belanda di Aceh diganti.
Begitu juga komandan pasukan Kolone Macan, Christoffel diganti seorang perwira bernama Van Der Verk.
Seperti tuntutan militer Belanda, para perwira baru ini kemudian mengubah sifat Kolone Macan.
Perlahan pasukan elite yang kejam ini pun hilang dan melebur menjadi Marsose biasa.