Perang Sarung Beda dengan Tarung Sarung, Ini Penjelasan Antropolog
Merdeka.com - Perang sarung menjadi tren di masyarakat, khususnya dilakukan anak-anak, saat momen Ramadan. Aksi itu ternyata jauh berbeda jauh dengan budaya tarung sarung atau Sigajang Lalang Lipa di Sulawesi Selatan (Sulsel).
Antropolog Universitas Hasanudin Makassar, Tasrifin Tahara mengatakan, perang sarung dengan tarung sarung merupakan dua hal berbeda dan tidak ada keterkaitan. Meski demikian, perang sarung sering dikaitkan dengan tarung sarung karena media sarung yang digunakan.
"Dua hal yang terpisah sebenarnya dengan tarung sarung yang ada di Makassar. Kalau itu tidak ada keterkaitan cuma masing-masing pada fungsi kebetulan juga perang sarung ini kan media yang digunakan adalah sarung," ujar Tasrifin kepada merdeka.com, Jumat (24/3).
-
Kenapa warga Desa Sembungan memakai sarung? Banyak warga yang beraktivitas di luar. Mereka mengenakan jaket ataupun sarung untuk melindungi tubuh mereka dari udara dingin yang menusuk.
-
Apa tradisi unik di Sumatera Selatan? Salah satunya adalah tradisi unik yang ada di Sumatra Selatan yakni saling bertukar takjil dengan tetangga di sekitar kampung tempat tinggal.
-
Kenapa War Takjil jadi tren di Ramadan? Rupanya pencarian makanan berbuka ini tak hanya dilakukan oleh umat muslim, namun juga non-muslim. Oleh karena itu, tren War Takjil menjadi hangat diperbincangkan selama bulan Ramadan tahun ini. Terlebih para non-muslim bisa memborong makanan jauh sebelum masuk waktu magrib.
-
Dimana ritual perang-perangan di Sungai dilakukan? Pada puncak Lom Plai di akhir pekan, kemeriahan pesta adat dimulai dari sungai. Sungai adalah simbol kehidupan suku Dayak. Ada beragam upacara adat yang dimulai dari Sungai.
-
Kenapa tradisi sungkem dilakukan saat Lebaran? Tradisi ini dilakukan dengan cara bersimpuh di hadapan orang yang lebih tua sambil mencium tangannya. Biasanya hal ini dilakukan oleh anak kepada orang tuanya sendiri saat Lebaran tiba.
-
Siapa saja yang merasakan keunikan tradisi Ramadan di Indonesia? Sejumlah mahasiswa asing yang tengah belajar di Universitas Indonesia (UI) Depok, Jawa Barat, mengaku menikmati momen Ramadan tahun ini.
Tasrifin mengatakan kemunculan perang sarung di masyarakat karena momen bulan Ramadan. Di bulan ini banyak masyarakat melaksanakan ritual ibadah menggunakan sarung.
"Salah satu media ibadah bagi umat muslim itu kan sarung. Biasa setelah melaksanakan ritual kan ada varian-varian lain yang dilakukan anak-anak pergi keliling," kata dia.
"Biasa gejolak anak muda sering bertarung, cuma kemungkinan dalam momen atau situasi seperti itu biasa orang saling adu dengan menggunakan media yang melekat pada dirinya. Jadi kebetulan mungkin pada saat itu sarung, ya jadilah dipakailah sarung sebagai media," imbuhnya.
Berbeda dengan tarung sarung yang menjadi budaya zaman dahulu Bugis-Makassar. Tasrifin mengatakan tradisi tarung sarung atau Sigajang Lalang Lipa sudah terjadi sejak zaman kerajaan.
"Zaman dahulu kalau persoalan harga diri atau siri dilakukan Sigajang Lalang Lipa," tuturnya.
Ia menyebut dalam Sigajang Lalang Lipa terdapat dua media yakni sarung dan juga badik. Dua orang bertarung di dalam sarung itu dengan menggunakan badik.
"Dan sarung itu membuat orang betul-betul jago. Karena tidak bisa bergerak (leluasa) kalau sudah di dalam sarung," bebernya.
Tasrifin mengaku tradisi Sigajang Lalang Lipa saat ini sudah tidak lagi ditemui sejak adanya hukum positif di Indonesia seperti Undang-Undang dan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Budaya Sigajang Lalang Lipa ini awalnya belum diketahui. Tapi tradisi itu sudah ada di masa kerajaan dan kemungkinan saat ini sudah bergeser sejak masuknya hukum-hukum positif di Indonesia," sebutnya.
Tasrifin menyebut keberadaan hukum-hukum positif saat ini menggeser hukum adat. Dengan adanya hukum positif tersebut tidak ada lagi ruang untuk menegakkan siri atau harga diri dengan melakukan tarung sarung.
"Karena akan berbenturan dengan hukum positif yang ada saat ini," ucapnya. (mdk/yan)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Fenomena itu terjadi karena kurangnya wadah bagi anak-anak muda untuk berekspresi.
Baca SelengkapnyaPermainan babalonan sarung jadi media mengenalkan ibadah yang menyenangkan kepada anak
Baca SelengkapnyaTopeng-topeng ini sudah ada sejak zaman Kesultanan Banten ketika menguasai wilayah Sumatra.
Baca SelengkapnyaKala Gibran Ikut Tanggapi Maraknya Perang Sarung di Kalangan Remaja Saat Bulan Ramadan
Baca SelengkapnyaPermainan ini memadukan kelincahan kaki serta gerakan Silek atau pencak silat.
Baca SelengkapnyaTari Landok Sampot lahir dari kebiasaan masyarakat setempat ketika masa penjajahan pada tahun 1800-an.
Baca SelengkapnyaTarian adu kekuatan dan ketangkasan kaum laki-laki dengan menggunakan senjata berupa rotan sebagai alat pukul dan tameng yang terbuat dari kulit sapi.
Baca SelengkapnyaSeni pertunjukan ulu ambek tumbuh dan berkembang di Pariaman, Pesisir Barat Minangkabau tepatnya Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra Barat.
Baca SelengkapnyaPertarungan menggunakan daun pandan berduri ini bukanlah sekedar pertempuran biasa, melainkan tradisi yang kaya makna dan nilai budaya.
Baca SelengkapnyaKesenian lebon dijadikan sebagai salah satu tradisi pertarungan jawara antar kampung serta sarana untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat.
Baca SelengkapnyaWalau saling pukul pakai rotan, namun warga di sini tidak saling dendam
Baca SelengkapnyaSeakan kembali ke masa kecil, permainan tradisional dari Sumatera Barat ini selalu hadir ketika Bulan Ramadan tiba.
Baca Selengkapnya