Cerita di Balik Arca Bhairawa Asal Sumbar di Museum Nasional Indonesia, Gambarkan Ritus Mengerikan Abad ke-13
Arca ini memiliki ciri khas, yakni wajah yang menyeramkan dengan tangan mengepal pisau dan memegang mangkuk berbentuk tengkorak manusia berisi darah.
Arca Bhairama jadi salah satu koleksi Museum Nasional Indonesia yang mencuri perhatian. Ukurannya besar dan memiliki ketinggian hingga 4 meter, sehingga bisa dengan mudah disaksikan oleh para pengunjung di yang datang.
Arca ini memiliki ciri khas, yakni wajah menyeramkan dengan tangan mengepal pisau dan memegang mangkuk berbentuk tengkorak manusia. Posisinya juga berdiri di atas tubuh seseorang yang tampak tidak berdaya.
-
Apa yang digambarkan di Arca Tanjung Telang? Arca Tanjung Telang atau dikenal masyarakat setempat bernama Arca Putri merupakan sebuah batu berukuran cukup besar yang menggambarkan manusia dengan seekor gajah.
-
Bagaimana Arca Buddha Bukit Siguntang ditemukan? Pada tahun 1920-an di lereng selatan bukit ini ditemukan arca Buddha bergaya Amarawati.
-
Dimana artefak itu ditemukan? Artefak ini ditemukan saat mereka sedang melakukan survei di luar Ringsted, sebuah kota di pulau Selandia.
Tak sekedar menarik secara visual, cerita yang melatar belakangi arca tersebut juga memantik penasaran. Sebab, Kehadirannya dikaitkan dengan ritual mengerikan yang terjadi di abad ke-13 silam bernama Kapalikacara.
Pada masa itu, ritus ini melibatkan makhluk hidup seperti hewan ataupun manusia yang harus dikorbankan untuk diambil darahnya.
Berasal dari Kabupaten Damasraya
Merujuk museumadityawarman.sumbarprov.go.id, Selasa (22/10), arca ini sebelumnya ditemukan di wilayah Kabupaten Damasraya, Sumatera Barat. Arca ini diperkirakan merupakan peninggalan pra-Islam di sana pada tahun 1200-an masehi silam.
Cerita tersebut juga menjadi bagian dari budaya Hindu-Buddha (Sinkretisme) aliran Bhairawa, yang pernah dianut oleh masyarakat lewat tradisi Tantrisme
Penemuannya sendiri berlangsung pada tahun 1935 di sekitar situs Candi Padang Roco, Desa Siguntur, Kecamatan Sitiung. Saat ditemukan di dalam tanah, kondisinya tidak utuh alias mengalami kerusakan dibagian kaki karena dijadikan batu pengasah serta lumpang penumbuk oleh warga.
Dulunya Jadi Penanda Gerbang Masuk Kerajaan Malayu
Di zaman dahulu, arca ini merupakan penanda gerbang masuk dari Kerajaan Malayu di Sumatera Barat. Posisinya berdiri di atas batu besar dan menghadap ke Sungai Batanghari.
Karena keberadaannya sebagai markah tanah, maka siapapun bisa menyaksikannya keberadaannya. Ini sekaligus menjadi penanda bahwa kawasan Sungai Batanghari menjadi salah satu daerah kekuasaan kerajaan tersebut.
Seiring runtuhnya kerajaan, hancur pula peninggalan-peninggalannya termasuk Arca Bhairawa. Saat ditemukan, posisinya ada di dalam tanah dengan salah satu bagian alas patung yang muncul ke permukaan.
Jadi Media Ritual Mengerikan
Mengutip museumnasional.iheritage-virtual.id, Bhairawa merupakan penggambaran dari sifat Dewa Siwa aliran Tantrayana. Kepercayaan ini mengakui kekuatan dari dewa tersebut, yakni sebagai penghancur dan pelebur untuk menggantikannya dengan sesuatu yang baru.
Saat itu, ritual dilakukan dengan menyembelih musuh berwujud seseorang atau hewan untuk diambil unsur tengkorak dan darahnya. Darah lantas diminum oleh para pengikut, untuk menyerap kekuatan positif dari sosok yang dikorbankannya.
Terlihat, Bhairawa berdiri di atas seseorang yang sudah tidak berdaya dengan posisi tubuh dan kaki tertekuk karena terinjak beban berat sosoknya. Kemudian, di sekitar juga terlihat tengkorak manusia yang dahulu dijadikan sebagai orang yang dikorbankan.
Bhairawa Penghancur Ilusi Duniawi
Banyak yang meyakini bahwa arca ini merupakan perwujudan dari Raja Adityawarman. Sosoknya merupakan pendiri Kerajaan Pagaruyung di Sumatera Barat pada tahun 1347.
Namun, yang paling sering diyakini sosok ini merupakan penggambaran Siwa yang selalu berusaha menghancurkan ilusi duniawi. Makna hancur sendiri bukanlah negatif, melainkan sebagai upaya untuk memperbaiki dan menggantinya dengan yang baru.
Archa Bhairawa juga dikatakan sebagai sosok yang melindungi para pengikut setianya dan menghindarkan dari keburukan. Bhairawa identik dengan budaya Sinkretisme lewat rupa yang menyeramkan dari sosok Siwa, sekaligus rambut yang ikal dari Buddha.