Ini Penyebab Bumi Terlihat Datar Padahal Bentuknya Bulat
Pada tahun 430 SM, seorang filsuf bernama Anaxagoras mencoba memahami bentuk bumi dengan mengamati gerhana matahari dan bulan.
Sejak zaman Yunani kuno, manusia telah memahami bahwa bentuk bumi adalah bulat, sekitar 500 tahun sebelum Masehi. Menurut informasi yang dilansir dari laman NASA pada Selasa (26/11/2024), pemikiran ini pertama kali dicetuskan oleh filsuf Pythagoras.
Ia berusaha membuktikan teorinya dengan mengamati perbedaan antara bagian terang dan gelap bulan saat beredar dalam orbitnya. Pythagoras berargumen bahwa jika bulan memiliki bentuk bulat, maka demikian pula dengan bumi.
-
Bagaimana Bumi menjadi datar? Planet ini diketahui terbentuk dari cakram protoplanet – cincin debu dan gas yang mengelilingi bintang – namun bagaimana tepatnya hal ini terjadi masih menjadi perdebatan. Teori yang paling umum diterima disebut pertambahan inti, di mana partikel debu mulai saling menempel, membentuk objek yang semakin besar hingga tumbuh menjadi planet.
-
Bagaimana pengaruh gravitasi pada Bumi datar? Artinya, jika gravitasi menghilang, maka planet akan menjadi kacau. Atmosfer pun akan turut menghilang, pasang surut air laut juga turut lenyap, bahkan keberadaan Bulan juga akan dipertanyakan.
-
Mengapa Bumi tidak bisa datar? Menurut James, Bumi yang stabil dan padat dalam bentuk datar seperti piringan tidak mungkin ada dalam kondisi gravitasi yang sebenarnya.
-
Apa yang terjadi jika Bumi datar? Banyak muncul fenomena-fenomena aneh bila Bumi berbentuk datar. Apa saja? Fakta Bumi itu bulat telah dikemukakan oleh para ilmuwan sejak puluhan tahun yang lalu.
-
Kenapa ilmuwan kaget Bumi datar? 'Kami telah mempelajari pembentukan planet sejak lama, tetapi belum pernah kami berpikir untuk memeriksa bentuk planet saat terbentuk dalam simulasi. Kami selalu berasumsi bahwa mereka berbentuk bola,' ujar dia seperti dikutip dari GreekReporter, Kamis (8/2).
-
Mengapa Bumi disebut 'Bumi'? Kata ini mengacu pada 'tanah' atau tempat kita berpijak. Bumi dalam pemahaman bahasa Anglo-Saxon merujuk pada tanah tempat kita hidup, tempat kita menanam tanaman, dan tempat kehidupan muncul.
Pada tahun 430 SM, filsuf Anaxagoras juga mencoba menentukan bentuk bumi dengan mengamati gerhana matahari dan bulan. Namun, pertanyaan muncul, mengapa bumi tampak datar saat kita berada di permukaannya?
Melansir laman Space pada Rabu (27/11), tampaknya Bumi terlihat datar disebabkan oleh keterbatasan perspektif manusia. Sebagai makhluk kecil yang berdiri di atas permukaan bola yang sangat besar, kemampuan manusia untuk melihat kelengkungan bumi sangat terbatas.
Rata-rata tinggi manusia dewasa berkisar antara 1,5 hingga 2 meter, sedangkan diameter bumi mencapai sekitar 12.800 kilometer. Dengan perbandingan tersebut, manusia tidak dapat melihat kelengkungan bumi secara menyeluruh. Dari permukaan, pandangan manusia hanya dapat menjangkau cakrawala sejauh sekitar 4,8 kilometer, yang terlalu pendek untuk mengamati kelengkungan bumi.
Bahkan ketika berada di puncak Gunung Everest, yang tingginya 8.850 meter, kelengkungan bumi masih sulit untuk dilihat. Hanya pada ketinggian lebih dari 10 kilometer, kelengkungan bumi mulai terlihat meskipun masih samar.
Untuk dapat melihat lengkungan bumi secara jelas, seseorang perlu terbang lebih dari 6 mil (10 kilometer) di atas permukaan. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa panjang cakrawala yang terlihat bergantung pada ketinggian seseorang. Untuk menyaksikan bentuk bumi secara utuh, perjalanan ke luar angkasa adalah solusi yang tepat.
Dari jarak tersebut, Bumi akan tampak sebagai bola besar yang dikelilingi oleh atmosfer yang tipis. Namun, perlu dicatat bahwa bentuk bumi sebenarnya bukanlah bola sempurna. Akibat rotasinya, bumi mengalami sedikit penyimpangan dan berbentuk ellipsoid, dengan tonjolan di sekitar ekuator.
Fenomena ini diakibatkan oleh gaya sentrifugal yang dihasilkan dari rotasi bumi. Selain itu, faktor topografi seperti pegunungan dan palung laut juga mempengaruhi bentuk bumi, yang menyebabkan variasi kecil dalam gravitasi di berbagai lokasi.
Menghitung Ukuran Bumi
Berabad-abad sebelum munculnya Renaisans, seorang matematikawan dan geografer bernama Eratosthenes berhasil melakukan pengukuran bumi untuk pertama kalinya. Ia memperkenalkan teori yang dikenal sebagai Sieve of Eratosthenes, yaitu sebuah algoritma yang digunakan untuk menemukan bilangan prima.
Untuk mengukur Bumi, Eratosthenes memilih waktu tengah hari di wilayah Syene (sekarang Aswan, sebuah kota di selatan Mesir) sebagai titik acuan. Pada saat itu, tidak ada bayangan yang terlihat pada jam matahari. Namun, situasi berbeda terjadi di utara, di wilayah Alexandria. Pada waktu yang sama, jam matahari di Alexandria menunjukkan adanya bayangan.
Hal ini membuat Eratosthenes menyadari bahwa perbedaan bayangan yang terbentuk oleh sinar Matahari pada waktu yang sama di lokasi yang berbeda bisa dijadikan sebagai acuan. Ia menghitung bahwa bayangan yang ada di Alexandria adalah 1/50 dari lingkaran penuh yang terdiri dari 360 derajat. Selanjutnya, ia memperkirakan jarak antara dua lokasi tersebut dan mengalikan hasilnya dengan 50 untuk mendapatkan keliling bumi.
Meskipun hasilnya sedikit meleset, Eratosthenes berhasil menghitung keliling bumi dengan angka akhir 252.000 stade, yang setara dengan sekitar 24.663 hingga 27.967 mil. Pengukuran yang dilakukan pada zaman modern menunjukkan bahwa lingkar khatulistiwa saat ini adalah 24.902 mil, yang tidak jauh berbeda dari hasil pengukuran yang dilakukan oleh Eratosthenes.