Temuan Tulang Purba Ungkap Penyakit Malaria Mulai Menjangkiti Manusia Sejak 5.000 Tahun Lalu, Begini Sejarahnya
Studi baru membantah dugaan sebelumnya yang menyatakan malaria muncul sekitar 2.000 sampai 3.000 tahun lalu.
Studi baru membantah dugaan sebelumnya yang menyatakan malaria muncul sekitar 2.000 sampai 3.000 tahun lalu.
Temuan Tulang Purba Ungkap Penyakit Malaria Mulai Menjangkiti Manusia Sejak 5.000 Tahun Lalu, Begini Sejarahnya
Penyakit malaria pada awalnya diyakini oleh para peneliti berasal dari 2000-3000 tahun yang lalu, namun sebuah temuan baru dari tulang-tulang kuno mengungkap bahwa penyakit menular tersebut telah ada sekitar 5.500 tahun bahkan lebih. Penyakit ini telah membuat jutaan orang jatuh sakit dan membunuh sekitar 608.000 jiwa per tahun.
-
Kapan jejak kaki manusia purba ditemukan? Sebenarnya, dari jejak kaki tersebut tidak ditemukan tanggal pastimya, namun berdasarkan batu-batu dan endapan lainnya para peneliti meyakini jejak tersebut berusia sekitar 79.000 tahun hingga 148.000 tahun.
-
Kapan Fosil Manusia Purba ditemukan? Para peneliti berhasil mengekstrak 13 genom dari gua batu Oakhurst, Afrika Selatan. Genom-genom tersebut mencakup DNA purba tertua di wilayah tersebut hingga saat ini dari dua individu yang hidup sekitar 10.000 tahun lalu.
-
Kapan fosil manusia purba ditemukan? Dilansir Ancient Origins, arkeolog pertama kali menemukan fosil ini di Hualongdong, China Timur pada 2019 lalu.
-
Di mana jejak kehidupan manusia purba ditemukan? Para arkeolog menemukan jejak kehidupan manusia berusia 86.000 tahun di Gua İnkaya Çanakkale, Turki.
-
Dimana tulang manusia purba ditemukan? Dilansir laman Mirror, sisa-sisa tulang itu ditemukan di dekat reruntuhan tembok batu kuno yang pernah menandai perimeter Kastil Dunraven, yang dibongkar pada 1963.
-
Apa yang terjadi pada manusia purba sekitar 900.000 tahun lalu? Sebuah penelitian genetik terbaru mengungkap sesuatu yang aneh terjadi pada nenek moyang kita sekitar 900.000 tahun yang lalu.Tiba-tiba, populasi manusia purba mengalami penurunan drastis hingga mencapai jumlah yang sangat sedikit, hanya sekitar 1.300 individu yang berkembang biak.
Sebuah studi yang diterbitkan pada Rabu (12/6) dalam jurnal Nature, menjawab tanda tanya para peneliti mengenai asal-usul penyakit malaria, dikutip dari NPR.
“Kami masih belum mengetahui di mana dan kapan tepatnya asal-usulnya,” uar Johannes Krause, penulis studi dan direktur di Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology.
“Sepertinya kita harus melihat lebih jauh ke masa lalu, mungkin 10.000 tahun,” tambahnya.
Penelitian ini membuat para peneliti mengumpulkan potongan tulang manusia purba dari para arkeolog, museum dan penggalian yang mereka lakukan di seluruh dunia. Mereka kemudian melakukan analisis dengan memeriksa sampel kecil tersebut hingga menemukan jejak parasit malaria yang sangat kecil di dalamnya.
“Ini merupakan kejutan besar, untuk menemukan DNA manusia di dalam sampel tulang berusia ribuan tahun merupakan hal yang cukup sulit,” kata Krause.
Para ilmuwan kemudian membandingkan DNA parasit tua tersebut dengan malaria versi modern dan menemukan beberapa temuan mengejutkan. Para ilmuwan menemukan bahwa kedua bentuk malaria yang ditemukan di Amerika merupakan virus yang dibawa oleh orang Eropa, demikian kesimpulan para peneliti.
Plasmodium vivax, salah satu jenis malaria kronis, diperkenalkan ketika bangsa Eropa menjajah Amerika Selatan dan Utara pada awal abad ke-15.
Penemuan ini mematahkan teori bahwa malaria sudah ada di Amerika ketika bangsa Eropa menjajah dan memperbudak bangsa lain. Penemuan lainnya adalah virus P. vivax yang dikira oleh para peneliti lebih tua dari P.falciparum ternyata belum terbuktikan.
Studi ini menunjukkan bagaimana sejarah malaria didukung oleh pergerakan manusia, dan cara kita membentuk lingkungan kita, termasuk patogen, kata para ahli.
Temuan mengejutkan lainnya mengenai penyakit malaria adalah temuan pada tulang manusia dari zaman Besi di Austria dan pada tulang dari Tibet, di Himalaya, para peneliti terkejut karena wilayah ini bukan habitat nyamuk pembawa malaria. Mereka yakin bahwa penyakit ini dibawa oleh orang luar yang sedang melakukan perjalanan ke Tibet dan Austria. Hal ini memberikan wawasan mobilitas manusia menggunakan DNA patogen dan menunjukan betapa luasnya penyebaran malaria selama berabad-abad, ungkap Krause.
"Hal ini dapat membantu menghilangkan beberapa stereotip rasial yang berkaitan dengan kondisi medis," kata Comfort, mengacu pada gagasan keliru bahwa orang kulit berwarna di daerah tropis lebih rentan terhadap penyakit seperti malaria. "Ini adalah pengingat bahwa kita menciptakan banyak situasi di mana penyakit berkembang, dan hal tersebut berkorelasi dengan ras dan kelas, dan sekarang orang yang paling miskin dan tidak berdaya cenderung memiliki penyakit yang terkonsentrasi di daerah tersebut karena tindakan manusia, bukan karena mereka secara alamiah lebih rentan terhadap penyakit."Penelitian ini juga menawarkan wawasan baru tentang identitas malaria. Saat ini malaria dipandang sebagai penyakit tropis.
"Seperti yang ditunjukkan dengan jelas oleh penelitian ini, hal ini jauh dari itu," katanya.
"Tampaknya penyakit ini telah menyebar ke seluruh dunia, bahkan hingga ke Himalaya, ini sangat mencengangkan."
Alasan mengapa malaria telah menjadi penyakit daerah tropis, katanya, adalah karena beberapa negara mampu mengerahkan sumber daya yang cukup besar untuk memusnahkannya di bagian dunia mereka.
Setelah beberapa dekade mengalami kemajuan dalam memerangi parasit berbahaya ini, dalam beberapa tahun terakhir kasus-kasus yang terjadi kembali meningkat, terutama karena perubahan iklim, seiring dengan meluasnya jangkauan lingkungan di mana nyamuk malaria dapat bertahan hidup.